FATWA MUI: VAKSIN BOLEH & HALAL!
Hari gini masih saja ada yang meragukan keamanan dan kehalalan vaksin. Harusnya “kecurigaan” macam ini sudah enggak ada lagi ya, Mama Papa.
Vaksinasi—proses memasukkan vaksin ke tubuh manusia dengan tujuan untuk mendapatkan efek kekebalan terhadap penyakit tertentu—merupakan bagian dari imunisasi. Vaksin dapat berupa komponen bakteri atau virus yang telah dilemahkan untuk merangsang tubuh memproduksi kekebalan tubuh atau antibodi terhadap penyakit tersebut. Dengan demikian, bila suatu saat si kecil terpapar oleh penyakit tersebut, maka tubuh dapat melawannya dengan baik.
Mama Papa tidak perlu ragu akan keamanan vaksin yang tersedia dan beredar di Indonesia saat ini, karena telah melalui tahapan uji klinik dan mendapat izin edar dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Begitu pun dengan kehalalan vaksin. Memang, pada proses pembuatannya, beberapa jenis vaksin tertentu menggunakan enzim tripsin dari babi. Inilah yang menjadikan kehalalan vaksin dipermasalahkan dan sering kali masalahnya ada pada perbedaan persepsi.
Seperti dipaparkan oleh dr. Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K) dalam seminar sehari “Kupas Tuntas Seputar Imunisasi bagi Ummat” (Minggu, 24 Mei 2015) yang berlangsung di Masjid Al-Qolam Islamic Center Iqro, Bekasi, sebagian besar orang mengira pembuatan vaksin seperti membuat puyer. Semua bahan yang ada dicampur menjadi satu, termasuk yang mengandung babi, lalu digerus menjadi vaksin. Padahal, proses pembuatan vaksin di era modern tidaklah sesederhana itu, melainkan justru amatlah kompleks. Ada beberapa tahapan yang harus dilalui dan tidak ada proses seperti menggerus puyer tadi.
Enzim tripsin babi digunakan sebagai katalisator untuk memecah protein menjadi peptida dan asam amino yang menjadi bahan makanan kuman. Kuman tersebut setelah dibiakkan, kemudian dilakukan fermentasi dan diambil polisakarida sebagai antigen bahan pembentuk vaksin. Selanjutnya dilakukan proses purifikasi, yang mencapai pengenceran 1/67,5 milyar kali sampai akhirnya terbentuk produk vaksin. Pada hasil akhir proses sama sekali tidak terdapat bahan-bahan yang mengandung babi. Bahkan, antigen vaksin ini sama sekali tidak bersinggungan dengan babi, baik secara langsung maupun tidak.
Dengan demikian, isu bahwa vaksin mengandung babi menjadi sangat tidak relevan dan isu semacam itu timbul karena persepsi yang keliru pada tahapan proses pembuatan vaksin. MUI (Majelis Ulama Indonesia) sudah mengeluarkan fatwa halal terhadap vaksin meningitis yang pada proses pembuatannya menggunakan katalisator dari enzim tripsin babi. Hal serupa terjadi pula pada proses pembuatan beberapa vaksin lain yang juga menggunakan tripsin babi sebagai katalisator proses.
KONDISI DARURAT: HALAL!
Jadi, dari sisi pandang agama, MUI telah mendukung vaksinasi sebagai upaya pencegahan penyakit dan telah mengeluarkan beberapa fatwa yang menetapkan bahwa penggunaan vaksin pada saat ini dibolehkan, sepanjang belum ada jenis vaksin lain yang produksinya menggunakan media dan proses yang sesuai dengan syariat Islam: Fatwa MUI 11 Ramadhan 1434 H/20 Juli 2013 M. Fatwa Nomor 30 Tahun 2013 tentang Obat dan Pengobatan; Fatwa MUI 1 Sya’ban 1423 H/8 Oktober 2002 M. Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Vaksin Polio Khusus; Fatwa MUI 18 Jumadil Akhir 1426 H/25 Juli 2005 M. Fatwa Nomor 16 Tahun 2005 tentang Penggunaan Vaksin Polio Oral (OPV); dan Fatwa MUI 4 Sya’ban 1431 H/16 Juli 2010 M. Fatwa no. 06 tahun 2010 tentang penggunaan vaksin meningitis bagi jemaah haji atau umrah.
Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Anggota Komisi Fatwa MUI, Dr. K.H.M. Hamdan Rasyid, M.A. “Sungguhpun demikian, vaksin yang digunakan harus yang halal. Tidak mengandung najis, dan tidak ada unsur babi, dan unsur-unsur lain yang dilarang dalam Islam. Kalau dalam kondisi darurat tidak atau belum ada yang halal, maka diperbolehkan sementara mempergunakan vaksin yang ada najisnya. Tetapi kebolehan itu hanya berlaku dalam keadaan darurat dan harus ada upaya mencari vaksin yang halal. Kalau pernah bersinggungan dengan enzim babi berarti haram. Tapi kalau memang belum ditemukan vaksin lain untuk penyakit itu, maka ini berarti kondisi darurat dan mengancam nyawa, sehingga untuk sementara hukumnya halal.”
Semua pernyataan tersebut sesuai dengan Firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah [2] : 173 “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Akan tetapi, barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang”
Menurut IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia), sertifikat halal memang baik, namun tak ada sertifikat halal bukan otomatis berarti haram. Kita bisa meneliti apakah pada produk akhir vaksin ada zat yang haram. Jika tak ada, maka vaksin tersebut hukumnya adalah halal. Di sisi lain, hukum obat dan vaksin berbeda dari hukum makanan dan minuman. Pada makanan dan minuman tersedia banyak sekali alternatif yang bisa dipilih sehingga kita bisa memastikan pilihan kita hanya pada makanan dan minuman yang halal saja.
Namun pada obat-obatan esensial dan vaksinasi yang amat penting bagi kesehatan masyarakat dapat berlaku hukum darurat. Khususnya jika obat dan vaksin tersebut termasuk zat haram, namun tak ada alternatif lain sebagai penggantinya saat itu. Hal ini disebabkan suatu kaidah bahwa darurat itu membolehkan yang dilarang. Dengan demikian, andai saja sebagian muslim masih menganggap bahwa vaksin itu haram, maka berdasarkan hukum darurat ini, vaksin tersebut tetap harus diberikan untuk mencegah berjangkitnya wabah penyakit ganas dan berbahaya di masyarakat. Sejarah membuktikan, cakupan imunisasi yang menurun menjadi sekitar 60% saja sudah bisa menimbulkan kembali wabah penyakit yang sebelumnya sudah menghilang di tengah masyarakat.
IMUNISASI ADALAH HAK ANAK!
Kita sebaiknya lebih waspada terhadap berbagai isu yang muncul, jangan mudah memercayai hal-hal yang tidak jelas dan tidak ilmiah. Hal ini perlu dilakukan dalam pemenuhan hak anak.
Nah, imunisasi merupakan hak bagi anak Indonesia yang telah tertuang dalam Undang Undang no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam Pasal 130 disebutkan, pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak. Kemudian, Pasal 132 ayat 3 menyebutkan, setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat dihindari melalui imunisasi.
Imunisasi lengkap dapat melindungi anak dari wabah, kecacatan dan kematian. Orangtua diharapkan melengkapi imunisasi anak mereka agar seluruh anak Indonesia terbebas dari penyakit yang sebenarnya dapat dicegah lewat imunisasi. Imunisasi melindungi anak-anak dari beberapa penyakit yang dapat menyebabkan kecacatan, bahkan kematian.
Nah, sekarang sudah enggak ragu lagi ya, Mama Papa. Ayo, segera lengkapi imunisasi si buah hati! (*)
IMUNISASI GRATIS
Sesungguhnya, imunisasi tidak membutuhkan biaya besar, bahkan di Posyandu, anak-anak mendapatkan imunisasi secara gratis. Ada lima jenis imunisasi yang diberikan secara gratis di Posyandu, yaitu: imunisasi hepatitis B, BCG, Polio, DPT-HIB, dan campak. Semua jenis vaksin ini harus diberikan secara lengkap sebelum anak berusia 1 tahun, diikuti dengan imunisasi lanjutan pada batita dan anak usia sekolah. Tahun 2013 pemerintah telah menambahkan vaksin HIB (Haemophilus Influenza Tipe B) yang digabungkan dengan vaksin DPT-HB menjadi DPT-HB-HIB yang disebut vaksin pentavalen.
• Vaksin hepatitis B diberikan pada bayi baru lahir untuk mencegah penularan Hepatitis B dari ibu ke anak pada proses kelahiran. Hepatitis B dapat menyebabkan pengerasan hati yang berujung pada kegagalan fungsi hati dan kanker hati.
• Vaksin BCG diberikan satu kali pada usia 1 bulan guna mencegah kuman tuberkulosis menyerang paru dan selaput radang otak yang bisa menimbulkan kematian atau kecacatan.
• Vaksin Polio diberikan empat kali pada usia 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan, dan 4 bulan untuk mencegah lumpuh layu.
• Vaksin Campak diberikan dua kali pada usia 9 bulan dan 24 bulan untuk mencegah penyakit campak berat yang dapat mengakibatkan radang paru berat (pneumonia), diare atau menyerang otak.
• Vaksin DPT-HB-HIB diberikan empat kali pada usia 2, 3, 4, dan 18 bulan guna mencegah 6 penyakit, yaitu: difteri, pertusis, tetanus, hepatitis B, pneumonia (radang paru), dan meningitis (radang otak). Penyakit difteri dapat menyebabkan pembengkakan dan sumbatan jalan napas, serta mengeluarkan racun yang dapat melumpuhkan otot jantung. Penyakit pertusis berat dapat menyebabkan infeksi saluran napas berat (pneumonia). Kuman tetanus mengeluarkan racun yang menyerang saraf otot tubuh, sehingga otot menjadi kaku, sulit bergerak, dan sulit bernapas. Kuman Haemophilus Influenza tipe B dapat menyebabkan pneumonia dan meningitis. (*)
Penulis:
dr. Vicka Farah Diba, Msc., SpA
RS Santa Maria Pekanbaru, RS Ibnu Sina Pekanbaru
Website: http://www.dokteranakku.net
Telah Terbit di Tabloid Nakita ed 851, available at Scoop Magazine
0 Komentar