imageAnemia defisiensi besi  merupakan salah satu masalah kesehatan pada anak Indonesia yang perlu mendapat perhatian khusus karena tidak saja berdampak untuk saat ini tetapi juga masa mendatang. Kekurangan besi pada masa anak terutama pada 5 tahun pertama kehidupan dapat berdampak negatif terhadap kualitas hidup anak. 

Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia akibat kekurangan zat besi untuk sintesis hemoglobin dan merupakan defisiensi nutrisi yang paling banyak pada anak dan menyebabkan masalah kesehatan yang paling besar di seluruh dunia terutama di negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Komplikasi ADB akibat jumlah total besi tubuh yang rendah dan gangguan pembentukan hemoglobin (Hb) dihubungkan dengan gangguan fungsi kecerdasan, perubahan tingkah laku, tumbuh kembang yang terlambat dan penurunan kekebalan tubuh anak. 

Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan prevalens ADB pada bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut-turut sebesar 61,3%, 64,8% dan 48,1%. Angka kejadian ADB lebih tinggi pada usia bayi, terutama pada bayi prematur (sekitar 25-85%) dan bayi yang mengonsumsi ASI secara eksklusif tanpa suplementasi. Prevalens anemia defisiensi besi (ADB) pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%.Pada usia balita, prevalens tertinggi ADB umumnya terjadi pada tahun kedua kehidupan akibat rendahnya asupan besi melalui diet dan pertumbuhan yang cepat pada tahun pertama. 

Untuk mencegah terjadinya ADB pada anak, maka Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menganjurkan :

Suplementasi besi sebaiknya diberikan mulai usia 4-8 minggu, dilanjutkan sampai usia 12-15 bulan, dengan dosis tunggal 2-4 mg/kg/hari tanpa melihat usia kehamilan dan berat lahir. 

Dengan pemberian suplementasi besi kepada semua anak, terutama usia 0-2 tahun tersebut diharapkan tumbuh kembang anak Indonesia dapat optimal khususnya dalam prestasi dan kualitas hidup serta kinerja sebagai sumber daya manusia di masa mendatang