KEMAMPUAN BERJALAN PADA CEREBRAL PALSY

PENDAHULUAN

Cerebral palsy adalah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi pada suatu kurun waktu dalam perkembangan anak, mengenai sel-sel motorik di dalam susunan saraf pusat, bersifat kronik dan tidak progresif akibat kelainan atau cacat pada jaringan otak yang belum selesai pertumbuhannya. Walaupun lesi serebral bersifat statis dan tidak progresif, tetapi perkembangan tanda-tanda neuron perifer akan berubah akibat maturasi serebral. 1,2

Yang pertama kali memperkenalkan penyakit ini adalah William John Little (1843), yang menyebutnya dengan istilah cerebral diplegia, sebagai akibat prematuritas atau afiksia neonatorum. Sir William Olser adalah yang pertama kali memperkenalkan istilah cerebral palsy, sedangkan Sigmund Freud menyebutnya dengan istilah Infantile Cerebral Paralysis. 1,2

Walaupun sulit, etiologi cerebral palsy perlu diketahui untuk tindakan pencegahan. Fisioterapi dini memberi hasil baik, namun adanya gangguan perkembangan mental dapat menghalangi tercapainya tujuan pengobatan. Winthrop Phelps menekankan pentingnya pendekatan multidisiplin dalam penanganan penderita cerebral palsy, seperti disiplin anak, saraf, mata, THT, bedah tulang, bedah saraf, psikologi, ahli wicara, fisioterapi, pekerja sosial, guru sekolah Iuar biasa. Di samping itu juga harus disertakan peranan orang tua dan masyarakat. 1,2

Potensi kemampuan berjalan anak cerebral palsy sangat menjadi perhatian penting bagi orang tua dan keluarga. Dari keseluruhan anak cerebral palsy dilaporkan 53 – 90% dapat berjalan. Identifikasi dini faktor resiko yang menentukan kemampuan berjalan dapat menjadi informasi penting untuk menentukan tujuan dan penanganan yang tepat dari cerebral palsy. Dari beberapa penelitian ada tiga hal utama yang dapat dijadikan sebagai prognosis kemampuan berjalan pada anak cerebral palsy yaitu : Refleks primitif dan reaksi postural, kemampuan motorik kasar dan tipe cerebral palsy. Faktor lain yang dilaporkan ikut terlibat adalah adanya kejang yang memerlukan antikonvulsi, kemampuan melihat dan defisit intelektual. 3

EPIDEMIOLOGI

Cerebral palsy merupakan penyebab kecatatan tersering pada anak. Didapatkan adanya kecenderungan peningkatan prevalensi pada dua dekade terakhir. Hal ini disebabkan kemajuan penanganan obstetri dan perinatal, sehingga terdapat peningkatan bayi immatur, berat lahir rendah dan bayi prematur dengan komplikasi yang bertahan hidup. Insiden bervariasi antara 2- 5/1000 bayi lahir hidup. Pada usia 12 bulan prevalensi diperkirakan 5,2 per 1000 kelahiran hidup tetapi pada usia 7 tahun insidensinya sekitar 2 per 1000 kelahiran hidup. Ini menunjukkan bahwa anak yang menunjukkan gejala kelainan motorik tidak berkembang menjadi CP di masa depannya. 2,4

Pada 3 dasawarsa terakhir terdapat peningkatan angka harapan hidup dari bayi prematur yang menyebabkan perubahan dalam insidensi jenis kelainan motorik pada pasien CP. Bayi preterm umumnya lebih sering menderita kelainan jenis spastik diplegia sehingga jenis kelainan motorik pasien CP yang tersering saat ini adalah spastik diplegia. Dari anak CP yang terdiagnosis pada usia 7 tahun sepertiga kelainan motorik tersering yang ditemukan adalah spastik diplegia. Terdapat hubungan yang erat antara berat lahir, usia kehmilan dan kejadian Cerebral Palsy.2,4

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi insidensi penyakit ini yaitu : populasi yang diambil, cara diagnosis dan ketelitiannya. Misalnya insidensi cerebral palsy di Eropa (1950) sebanyak 2,5 per 1000 kelahiran hidup , sedangkan di Skandinavia sebanyak 1,2 – 1,5 per 1000 kelahiran hidup. Gilroy memperoleh 5 dan 1000 anak memperlihatkan defisit motorik yang sesuai dengan cerebral palsy; 50% kasus termasuk ringan sedangkan 10% termasuk berat. Yang dimaksud ringan ialah penderita yang dapat mengurus dirinya sendiri, sedangkan yang tergolong berat ialah penderita yang memerlukan perawatan khusus; 25% mempunyai intelegensi rata-rata (normal), sedangkan 30% kasus menunjukkan IQ di bawah 70; 35% disertai kejang, 50% menunjukkan adanya gangguan bicara. Laki-laki lebih banyak daripada wanita (1,4:1,0). Insiden relatif cerebral palsy yang digolongkan berdasarkan keluhan motorik adalah sebagai berikut: spastik 65%, atetosis 25%, dan rigid, tremor, ataktik I0%. 1

ETIOLOGI

Cerebral palsy terjadi akibat kerusakan otak saat periode prenatal, perinatal dan post natal. Sekitar 70-80% terjadi akibat kerusakan otak saat prenatal. Bayi lahir prematur dan gangguan pertumbuhan saat kehamilan baik pada bayi prematur maupun yang cukup bulan sebagai penyebab yang sering didapatkan saat prenatal. 1,2

Resiko terjadinya CP 25-31 kali lebih tinggi pada bayi berat lahir kurang dari 1500 gram dan didapatkan 1/3 bayi dengan gejala CP dengan berat lahir kurang dari 2500 gram. Bayi lahir prematur merupakan faktor tersering dan secara konsisten berhubungan dengan CP. Bayi kecil menurut usia kehamilan (intra uterine growth retardation) yang lahir setelah 32 minggu meningkatkan resiko menderita CP. Data terakhir diduga disebabkan oleh intrauterine undernutrisi dan hipoksia kronik, yang dapat dideteksi pada pemeriksaan darah fetal, menunjukkan asidosis atau peningkatan konsentrasi eritropoetin dan adanya redistribusi aliran darah fetal dengan pemeriksaan USG Doppler. 1,2

Beberapa penelitian menyebutkan faktor prenatal dan perinatal lebih berperan daripada faktor pascanatal. Studi oleh Nelson dkk (1986) menyebutkan bayi dengan berat lahir rendah, asfiksia saat lahir, iskemi prenatal, faktor genetik, malformasi kongenital, toksin, infeksi intrauterin merupakan faktor penyebab cerebral palsy. 1,4

Penyebab cerebral palsy dapat dibagi dalam tiga periode yaitu 1,4 :

1) Pranatal :

a)Malformasi kongenital.

b)Infeksi dalam kandungan yang dapat menyebabkan kelainanjanin (misalnya; rubela, toksoplamosis, sifihis, sitomegalovirus, atau infeksi virus lainnya).

c)Toksemia gravidarum.

d)Asfiksia dalam kandungan (misalnya: solusio plasenta, plasenta previa, anoksi maternal, atau tali pusat yang abnormal).

2) Natal :

a)Anoksia / hipoksia.

b)Perdarahan intra kranial.

c)Trauma lahir.

d)Prematuritas.

3) Postnatal :

a)Trauma kapitis.

b)Infeksi misalnya : meningitis bakterial, abses serebri, trombophlebitis, ensefalomielitis.

c)Kern icterus.

PATOGENESIS

Perkembangan susunan saraf dimulai dengan terbentuknya neural tube yaitu induksi dorsal yang terjadi pada minggu ke 3-4 masa gestasi dan induksi ventral, berlangsung pada minggu ke 5­6 masa gestasi. Setiap gangguan pada masa ini bisa meng-akibatkan terjadinya kelainan kongenital seperti kranioskisis totalis, anensefali, hidrosefalus dan lain sebagainya. Fase selanjutnya terjadi proliferasi neuron, yang terjadi pada masa gestasi bulan ke 2­4. Gangguan pada fase ini bisa meng- akibatkan mikrosefali, makrosefali. Stadium selanjutnya yaitu stadium migrasi yang terjadi pada masa gestasi bulan 3­5. Migrasi terjadi melalui dua cara yaitu secara radial, berdiferensiasi dan daerah periventnikuler dan subventrikuler ke lapisan sebelah dalam koerteks serebri; sedangkan migrasi secara tangensial sudah berdiferensiasi dan zone germinal menuju ke permukaan korteks serebri. Gangguan pada masa ini bisa mengakibatkan kelainan kongenital seperti polimikrogiri, agenesis korpus kalosum.

Stadium organisasi terjadi pada masa gestasi bulan ke 6 sampai beberapa tahun pascanatal. Gangguan pada stadium ini akan mengakibatkan translokasi genetik, gangguan metabolisme. Stadium mielinisasi terjadi pada saat lahir sampai beberapa tahun pasca natal. Pada stadium ini terjadi proliferasi sd neuron, dan pembentukan selubung mialin. Kelainan neuropatologik yang terjadi tergantung pada berat dan ringannya kerusakan.

Jadi kelainan neuropatologik yang terjadi sangat kompleks dan difus yang bisa mengenai korteks motorik traktus piramidalis daerah paraventnkuler ganglia basalis, batang otak dan serebelum. Anoksia serebri sering merupakan komplikasi perdarahan intraventrikuler dan subependim Asfiksia perinatal sering berkombinasi dengan iskemi yang bisa menyebabkan nekrosis.

Kern ikterus secara klinis memberikan gambaran kuning pada seluruh tubuh dan akan menempati ganglia basalis, hipokampus, sel-sel nukleus batang otak; bisa menyebabkan cerebral palsy tipe atetoid, gangguan pendengaran dan mental retardasi. Infeksi otak dapat mengakibatkan perlengketan meningen, sehingga terjadi obstruksi ruangan subaraknoid dan timbul hidrosefalus.

Perdarahan dalam otak bisa meninggalkan rongga yang berhubungan dengan ventrikel. Trauma lahir akan menimbulkan kompresi serebral atau perobekan sekunder. Trauma lahir ini menimbulkan gejala yang ireversibel. Lesi ireversibel lainnya akibat trauma adalah terjadi sikatriks pada sel-sel hipokampus yaitu pada kornu ammonis, yang akan bisa mengakibatkan bangkitan epilepsi

GAMBARAN KLINIK
Klinis tergantung dari bagian dan luasnya jaringan otak yang mengalami kerusakan : 1,2
  1. 1.Paralisis. Dapat berbentuk hemiplegia, kuadriplegia, diplegia, monoplegia, triplegia. Kelumpuhan ini mungkin bersifat flaksid, spastik atau campuran.
  2. 2.Gerakan involunter. Dapat berbentuk atetosis, khoreoatetosis, tremor dengan tonus yang dapat bersifat flaksid, rigiditas, atau campuran.
  3. 3.Ataksia. Gangguan koordinasi ini timbul karena kerusakan serebelum. Penderita biasanya memperlihatkan tonus yang menurun (hipotoni), dan menunjukkan perkembangan motorik yang terlambat. Mulai berjalan sangat lambat, dan semua pergerakan serba canggung.
  4. 4.Kejang. Dapat bersifat umum atau fokal.
  5. 5.Retardasi mental. Ditemukan kira-kira pada 1/3 dari anak dengan cerebral palsy terutama pada grup tetraparesis, diparesis spastik dan ataksia. Cerebral palsy yang disertai dengan retardasi mental pada umumnya disebabkan oleh anoksia serebri yang cukup lama, sehingga terjadi atrofi serebri yang menyeluruh. Retardasi mental masih dapat diperbaiki bila korteks serebri tidak mengalami kerusakan menyeluruh dan masih ada anggota gerak yang dapat digerakkan secara volunter. Dengan dikembangkannya gerakan-gerakan tangkas oleh anggota gerak, perkembangan mental akan dapat dipengaruhi secara positif.
  6. 6.Gangguan penglihatan (misalnya: hemianopsia, strabismus, atau kelainan refraksi), gangguan bicara, gangguan sensibilitas.
  7. 7.Problem emosional terutama pada saat remaja.

DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis lengkap tentang riwayat kehamilan, perinatal dan pascanatal, dan memperhatikan faktor risiko terjadinya cerebral palsy. Juga pemeriksaan fisik lengkap dengan memperhatikan perkembangan motorik dan mental dan adanya refleks neonatus yang masih menetap. Pada bayi yang mempunyai risiko tinggi diperlukan pemeriksaan berulang kali, karena gejaladapat berubah, terutama pada bayi yang dengan hipotoni, yang menandakan perkembangan motorik yang terlambat; hampir semua cerebral palsy melalui fase hipotoni. Pemeriksaan penunjang lainnya yang diperlukan adalah foto polos kepala, pemeriksaan pungsi lumbal. Pemeriksaan EEG terutama pada penderita yang memperlihatkan gejala motorik, seperti tetraparesis, hemiparesis, atau karena sering disertai kejang. Pemeriksaan ultrasonografi kepala atau CT Scan kepala dilakukan untuk mencoba mencani etiologi. Pemeriksaan psikologi untuk menentukan tingkat kemampuan intelektual yang akan menentukan cara pendidikan ke sekolah biasa atau sekolah luar biasa. 1,2

KLASIFIKASI CEREBRAL PALSY

Banyak klasifikasi yang diajukan oleh para ahli, tetapi pada kesempatan ini akan diajukan klasifikasi berdasarkan gambaran klinis dan derajat kemampuan fungsionil. 1

Berdasarkan gejala klinis, maka pembagian cerebral palsy adalah sebagai berikut:

1.Tipe spastis atau piramidal. Pada tipe ini gejala yang hampir selalu ada adalah :
a)Hipertoni (fenomena pisau lipat).
b)Hiper refleksi yang disertai klonus.
c)Kecenderungan timbul kontraktur.
d)Refleks patologis.
Secara topografi distribusi tipe ini adalah sebagai berikut : 1,2,5
  • a.Hemiplegia apabila mengenai anggota gerak sisi yang sama. 
  • b.Spastik diplegia. Mengenai kedua anggota gerak, anggota gerak bawah lebih berat.
  • c.Kuadriplegi, mengenai keempat anggota gerak, anggota gerak atas sedikit lebih berat.
  • d.Monoplegi, bila hanya satu anggota gerak.
  • e.Triplegi apabila mengenai satu anggota gerak atas dan dua anggota gerak bawah, biasanya merupakan varian dan kuadriplegi.

2.Tipe ekstrapiramidal. Akan berpengaruh pada bentuk tubuh, gerakan involunter, seperti atetosis, distonia, ataksia. Tipe ini sering disertai gangguan emosional dan retardasi mental. Di samping itu juga dijumpai gejala hipertoni, hiperrefleksi ringan, jarang sampai timbul klonus. Pada tipe ini kontrak jarang ditemukan, apabila mengenai saraf otak bisa terlihat wajah yang asimetris.

3.Tipe campuran. Gejala-gejalanya merupakan campuran kedua gejala di atas, misalnya hiperrefleksi dan hipertoni disertai gerakan khorea.

KEMAMPUAN BERJALAN PADA CEREBRAL PALSY

Kemampuan untuk memperkirakan status berjalan pada anak cerebral palsy penting bagi orang tua dan petugas kesehatan untuk menentukan rencana penanganan selanjutnya. Refleks primitif dan reaksi postural, perkembangan motorik kasar dan tipe cerebral palsy adalah tiga faktor penting untuk menentukan prognosis kemampuan berjalan. 3

Faktor prognosis pertama yaitu menetapnya refleks primitif dan tidak adanya reaksi postural pada usia dua tahun berhubungan dengan prognosis berjalan lebih buruk pada anak cerebral palsy. Kedua yaitu perkembangan motorik kasar dan kemampuan untuk duduk (duduk tanpa bantuan pada suatu tempat) pada usia dua tahun berhubungan dengan kemampuan berjalan yang lebih baik. Dan ketiga yaitu berdasarkan tipe cerebral palsy, anak dengan tipe spastik hemiplegia akan dapat berjalan, anak dengan tipe spastik diplegia 85% dapat berjalan dan anak dengan spastik quadriplegia kurang dapat berjalan. Sehingga dapat disimpulkan pada usia dua tahun sudah dapat diprediksikan kemampuan berjalan pada anak cerebral palsy berdasarkan menetapnya refleks primitif, perkembangan motorik kasar, kemampuan duduk dan tipe cerebral palsy. 3

REFLEKS PRIMITIF DAN REAKSI POSTURAL

Dari berbagai penelitian disimpulkan bahwa menetapnya refleks primitif dan tidak adanya reaksi postural berhubungan dengan kemampuan buruk untuk dapat berjalan pada anak dengan cerebral palsy. Usia kritis untuk menentukan kemampuan berjalan adalah pada usia dua tahun oleh karena pada usia ini maturasi susunan syaraf sudah sempurna. Refleks primitif terdiri dari Asimetrik tonik neck reflek, Simetrik tonik neck reflek, refleks moro, refleks tonik labyrinth sedangkan reaksi postural terdiri dari penempatan kaki dan reaksi parasut. Hubungan antara refleks primitif, reaksi postural dan kemampuan berjalan terdapat pada tabel 1. 3

TABEL 1. REFLEKS PRIMITIF YANG MENETAP DAN TIDAK ADANYA REAKSI POSTURAL BERHUBUNGAN DENGAN TIDAK ADANYA KEMAMPUAN BERJALAN

Pemeriksaan fisik
Ketidakmampuan berjalan CP
Penelitian
Refleks primitif
Asimetrik tonik neck refleks
·Salah satu dari 5 refleks primitf yang sering muncul (ATNR, STNR, Moro, Neck righting, Extensor thrust, foot placement, parachute reaction)
·ATNR Berhubungan dengan nonambulatori
·Bila menetap pada usia 12, 18 dan 24 bulan
·Salah satu dari 3 refleks primitif (Tonic labyrinth reflex, Extensor thrust, Positive supporting reaction) yang paling kuat berhubungan dengan ketidakmampuan berjalan
·Berhubungan signifikan dengan ketidakmampuan berjalan
·Bleck (1975)
·Crothers (1985)
·Molnar (1976)
·Trahan (1994)
·Watt (1989)
Simetrik tonik neck refleks
·Bila menetap pada usia 12, 18 dan 24 bulan
·STNR Berhubungan dengan nonambulatori
·Berhubungan signifikan dengan ketidakmampuan berjalan
·Molnar (1976)
·Trahan (1994)
·Watt (1989)
Refleks moro
·Salah satu dari 5 refleks primitf yang sering muncul (ATNR, STNR, Moro, Neck righting, Extensor thrust, foot placement, parachute reaction)
·Bila menetap pada usia 12, 18 dan 24 bulan
·Salah satu dari 3 refleks primitif (Tonic labyrinth reflex, Extensor thrust, Positive supporting reaction) yang paling kuat berhubungan dengan ketidakmampuan berjalan
·Moro berhubungan signifikan dengan ketidakmampuan berjalan
·Bleck (1975)
·Molnar (1976)
·Trahan (1994)
·Watt (1989)
Neck righting
·Salah satu dari 5 refleks primitf yang sering muncul (ATNR, STNR, Moro, Neck righting, Extensor thrust, foot placement, parachute reaction)
·Neck righting tidak berhubungan dengan ketidakmampuan berjalan
·Bleck (1975)
·Watt (1989)
Tonik labyrinth
·Bila menetap pada usia 12, 18 dan 24 bulan
·Salah satu dari 3 refleks primitif (Tonic labyrinth reflex, Extensor thrust, Positive supporting reaction) yang paling kuat berhubungan dengan ketidakmampuan berjalan
·Tonik labirynth berhubungan signifikan dengan ketidakmampuan berjalan
·Molnar (1976)
·Trahan (1994)
·Watt (1989)
Ekstensor thrust
·Salah satu dari 5 refleks primitf yang sering muncul (ATNR, STNR, Moro, Neck righting, Extensor thrust, foot placement, parachute reaction)
·Ekstensor thrust tidak berhubungan dengan ketidakmampuan berjalan
·Bleck (1975)
·Watt (1989)
Positif supporting
·Bila menetap pada usia 12, 18 dan 24 bulan
·Positif supporting berhubungan dengan non ambulatori
·Molnar (1976)
·Trahan (1994)
Reaksi postural
Penempatan kaki
Berhubungan signifikan dengan ketidakmampuan berjalan
Watt (1989)
Reaksi parasut
·Salah satu dari 5 refleks primitf yang sering muncul (ATNR, STNR, Moro, Neck righting, Extensor thrust, foot placement, parachute reaction)
·Reaksi Parasut berhubungan dengan ketidakmampuan berjalan
·Bleck (1975)
·Watt (1989)

PERKEMBANGAN MOTORIK KASAR


Perhatian kedua yang terpenting sebagai prognosis kemampuan berjalan adalah perkembangan motorik kasar. Dari setiap penelitian disimpulkan bahwa semakin dini perkembangan motorik kasar dapat dicapai seorang anak semakin baik prognosis kemampuan berjalan. Khususnya kemampuan anak untuk duduk (mampu duduk tanpa dukungan di suatu tempat) pada usia dua tahun, berhubungan dengan prognosis yang baik untuk berjalan. Meskipun bila anak belum mampu duduk pada usia dua tahun tidak menghilangkan prognosis untuk dapat berjalan di kemudian hari tetapi kemungkinan tersebut menjadi lebih kecil. Kemampuan duduk dapat dijadikan sebagai indikator untuk mampu berjalan oleh karena untuk duduk diperlukan kemampuan menyeimbangkan dan mengontrol batang tubuh untuk tetap dalam posisi tegak. 3

TIPE CEREBRAL PALSY

Berdasarkan beberapa penelitian, cerebral palsy dengan tipe spastik hemiplegia mempunyai prognosis berjalan terbaik (100% mampu berjalan) kemudian disusul dengan spastik diplegia 85 – 91% dan yang paling sedikit adalah tipe spastik quadriplegi. Tipe cerebral palsy menggambarkan tingkat keterlibatan motorik yang terlibat sehingga dapat menjadi prognosis kemampuan berjalan anak. Semakin sedikit keterlibatan motorik semakin baik prognosis ambulatori anak. Beberapa penelitian mengenai hubungan tipe CP dan ambulatori terdapat pada Tabel 2. 3

TABEL 2. TIPE CP DAN HUBUNGAN DENGAN KEMAMPUAN BERJALAN
Tipe CP
Kemampuan berjalan (%)
N
Penelitian
Spastik diplegia
91
90
87
86
108
50
83
31
115
37
Campos da Paz et al (1994)
Badell Ribera (1985)
Beals (1996)
Watt et al (1989)
Trahan and Marcoux (1994)
Molnar and Gordon (1976)
Spastik Quadriplegia
72
27
0
85
37
21
Molnar and Gordon (1976)
Campos da Paz et al (1994)
Watt et al (1989)
Spastik triplegia
87
13
Campos da Paz et al (1994)
Spastik athetosis
50
28
Molnar and Gordon (1976)
Athetosis
71
0
14
2
Molnar and Gordon (1976)
Watt et al (1989)
Ataxia
100
6
1
Molnar and Gordon (1976)
Watt et al (1989)
Hipotoni
0
2
1
Molnar and Gordon (1976)
Watt et al (1989)

FAKTOR KLINIS LAIN YANG BERHUBUNGAN

Watt menemukan bahwa terdapat kejadian kejang yang cukup tinggi (74% vs 38%) antara anak yang tidak dapat berjalan dengan yang dapat berjalan. Sebagai tambahan dilaporkan juga terdapat hubungan yang signifikan dari beberapa gejala seperti kejang yang memerlukan obat anti konvulsi, defisit intelektual dan buta pada usia tiga tahun dengan ketidak mampuan berjalan pada usia delapan tahun. Dimana setiap anak pada kelompok pertama dan 80% anak di kelompok terakhir tidak dapat berjalan. Trahan dan Marcoux juga melaporkan adanya hubungan mikrosefali dengan ketidak mampuan berjalan. Dalam penelitian lain, Real’s melaporkan bahwa anak dengan spastik diplegia atau paraplegia dengan kejang kurang dapat berjalan. 3

GROSS MOTOR FUNCTIONAL CLASSIFICATION SYSTEM (GMFCS)

Berdasarkan faktor dapat tidaknya beraktifitas / ambulation, Gross Motor Functional Classification System (GMFCS) secara luas digunakan untuk menentukan derajat fungsional penderita CP. Skala yang lain, Bimanual Fine Motor Function (BMMF) digunakan untuk menilai fungsi dari ekstremitas, tetapi tidak secara luas digunakan seperti GMFCS. Berjalan merupakan salah satu manifestasi fungsi motorik kasar dan dapat digunakan untuk menilai perkembangan anak CP. GMFCS tidak untuk menilai kualitas dari gerakan atau memprediksi adanya kemajuan. 6

Pembagian derajat fungsional CP menurut GMFCS, dibagi menjadi 5 level dan berdasarkan kategori umur dibagi menjadi 4 kelompok, kurang dari 2 tahun, antara 2-3 tahun, antara 4-6 tahun dan antara 6-12 tahun. 6

Berikut ini klasifikasi pada 2 kelompok, 4-6 tahun dan 6-12 tahun :

Kelompok 4 – 6 tahun
Level 1: Anak dapat duduk dan bangkit dari duduk pada kursi, tanpa membutuhkan bantuan tangan. Anak bergerak dari lantai dan dari kursi untuk berdiri tanpa bantuan obyek. Anak berjalan baik dalam ruangan maupun diluar ruangan, dan dapat naik tangga. Terdapat kemampuan untuk berlari atau melompat.
Level 2: Anak duduk di kursi dengan kedua tangan bebas memanipulasi obyek. Anak dapat bergerak dari lantai untuk berdiri, tetapi seringkali membutuhkan obyek yang stabil untuk menarik atau mendorong dengan tangannya. Anak berjalan tanpa alat bantu didalam ruangan dan dengan jarak pendek pada permukaan yang rata diluar ruangan. Anak dapat berjalan naik tangga dengan berpegangan pada tepi tangga., tetapi tidak dapat berlari atau melompat.
Level 3: Anak dapat duduk pada kursi, tetapi membutuhkan alat bantu untuk pelvis atau badan untuk memaksimalkan fungsi tangan. Anak dapat duduk dan bangkit dari duduk menggunakan permukaan yang stabil untuk menarik atau mendorong dengan tangannya. Anak seringkali dibantu untuk mobilitas pada jarak yang jauh atau diluar ruangan dan untuk jalan yang tak rata.
Level 4: Anak duduk di kursi tapi butuh alat bantu untuk kontrol badan untuk memaksimalkan fungsi tangan. Anak duduk dan bangkit dari duduk membutuhkan bantuan orang dewasa atau obyek yang stabil untuk dapat menarik atau mendorong dengan tangannya. Anak dapat berjalan pada jarak pendek dengan bantuan walker dan dengan pengawasan orang dewasa, tetapi kesulitan untuk jalan berputar dan menjaga keseimbangan pada permukaan yang rata. Anak dibantu untuk mobilitas ditempat umum. Anak bisa melakukan mobilitas dengan kursi roda bertenaga listrik.
Level 5: Kelainan fisik membatasi kemampuan kontrol gerakan, gerakan kepala dan postur tubuh. Semua area fungsi motorik terbatas. Keterbatasan untuk duduk dan berdiri yang tidak dapat dikompensasi dengan alat bantu, termasuk yang menggunakan teknologi. Anak tidak dapat melakukan aktifitas mandiri dan dibantu untuk mobilisasi. Sebagian anak dapat melakukan mobilitas sendiri menggunakan kursi roda bertenaga listrik dengan sangat membutuhkan adaptasi.
Kelompok 6 – 12 Tahun
Level 1: Anak berjalan didalam dan diluar ruangan, naik tangga tanpa keterbatasan. Anak menunjukkan performa fungsi motorik kasar termasuk lari dan lompat, tetapi kecepatan, keseimbangan dan koordinasi berkurang.
Level 2: Anak berjalan didalam dan diluar ruangan dan naik tangga dengan berpegangan di tepi tangga, tetapi terdapat keterbatasan berjalan pada permukaan yang rata dan mendaki, dan berjalan ditempat ramai atau tempat yang sempit. Anak dapat melakukan kemampuan motorik kasar, seperti berlari atau melompat yang minimal.
Level 3: Anak berjalan didalam dan diluar ruangan pada permukaan yang rata dengan bantuan alat bantu gerak. Anak masih mungkin dapat naik tangga dengan pegangan pada tepi tangga. Tergantung fungsi dari tangan, anak menggerakan kursi roda secara manual atau dibantu bila melakukan aktifitas jarak jauh atau diluar ruangan pada jalan yang tidak rata.
Level 4: Anak bisa dengan level fungsi yang sudah menetap dicapai sebelum usia 6 tahun atau lebih mengandalkan mobilitas menggunakan kursi roda dirumah, disekolah dan ditempat umum. Anak dapat melakukan mobilitas sendiri dengan kursi roda bertenaga listrik.
Level 5: Kelainan fisik membatasi kemampuan kontrol gerakan, gerakan kepala dan postur tubuh. Semua area fungsi motorik terbatas. Keterbatasan untuk duduk dan berdiri yang tidak dapat dikompensasi dengan alat bantu, termasuk yang menggunakan teknologi. Anak tidak dapat melakukan aktifitas mandiri dan dibantu untuk mobilitas. Sebagian anak dapat melakukan mobilitas sendiri menggunakan kursi roda bertenaga listrik dengan sangat membutuhkan adaptasi.

PENATALAKSANAAN

Tidak ada terapi spesifik terhadap cerebral palsy. Terapi bersifat simtomatik, yang diharapkan akan memperbaiki kondisi pasien. Terapi yang sangat dini akan dapat mencegah atau mengurangi gejala gejala neurologik. Untuk menentukan jenis terapi atau latihan yang diberikan dan untuk menentukan keberhasilannya maka perlu diperhatikan penggolongan cerebral palsy berdasarkan derajat kemampuan fungsionil yaitu derajat ringan, sedang dan berat. Tujuan terapi pasien cerebral palsy adalah membantu pasien dan keluarganya memperbaiki fungsi motorik dan mencegah deformitas serta penyesuaian emosional dan pendidikan sehingga pendenta sedikit mungkin memerlukan pertolongan orang lain, diharapkan penderita bisa mandiri. Obat obatan yang diberikan tergantung pada gejala gejala yang muncul. Misalnya untuk kejang bisa diberikan anti kejang. Untuk spastisitas bisa diberikan baclofen dan diazepam. Bila gejala berupa nigiditas bisa diberikan levodopa. Mungkin diperlukan terapi bedah ortopedi maupun bedah saraf untuk merekonstruksi terhadap deformitas yang terjadi. 1

Fisioterapi dini dan intensif untuk mencegah kecacatan, juga penanganan psikolog atau psikiater untuk mengatasi perubahan tingkah laku pada anak yang lebih besar. Yang tidak boleh dilupakan adalah masalah pendidikan yang harus sesuai dengan tingkat kecerdasan penderita. 1
Occupational therapy ditujukan untuk meningkatkan kemampuan untuk menolong diri sendiri, memperbaiki kemampuan motorik halus, penderita dilatih supaya bisa mengenakan pakaian, makan, minum dan keterampilan lainnya. Speech therapy diberikan pada anak dengan gangguan wicara bahasa, yang ditangani seorang ahli. 1

PROGNOSIS

Beberapa faktor berpengaruh terhadap prognosis penderita CP seperti tipe klinis, keterlambatan dicapainya milestones, adanya reflek patologik dan adanya defisit intelegensi, sensoris dan gangguan emosional. Anak dengan hemiplegi sebagian besar dapat berjalan sekitar umur 2 tahun, kadang diperlukan short leg brace, yang sifatnya sementara. Didapatkannya tangan dengan ukuran lebih kecil pada bagian yang hemiplegi, bisa disebabkan adanya disfungsi sensoris di parietal dan bisa menyebabkan gangguan motorik halus pada tangan tersebut. Lebih dari 50% anak tipe diplegi belajar berjalan pada usia sekitar 3 tahun, tetapi cara berjalan sering tidak normal dan sebagian anak memerlukan alat bantu. Aktifitas tangan biasanya ikut terganggu, meskipun tidak tampak nyata. Anak dengan tipe kuadriplegi, 25% memerlukan perawatan total, sekitar 33% dapat berjalan, biasanya setelah umur 3 tahun. Gangguan fungsi intelegensi paling sering didapatkan dan menyertai terjadinya keterbatasan dalam aktifitas. Keterlibatan otot-otot bulber, akan menambah gangguan yang terjadi pada tipe ini. 2

Sebagian besar anak yang dapat duduk pada umur 2 tahun dapat belajar berjalan, sebaliknya anak yang tetap didapatkan reflek moro, asimetri tonic neck reflex, ekstensor thrust dan tidak munculnya reflek parasut biasanya tidak dapat belajar berjalan. Hanya sedikit anak yang tidak dapat duduk pada umur 4 tahun akan belajar berjalan. 3

DAFTAR PUSTAKA

1.Adyana Oka I M. Cerebral Palsy Ditinjau dari Aspek Neurologi. Cermin Dunia Kedokteran. 1995; 104; 37 – 40
2.Taft T L, Cerebral Palsy. Pediatrics in Review. Pediatrics’ in Review. 1995; 16 (11) : 35 – 45
3.Sala A D, Grant A D. PROGNOSIS FOR AMBULATION IN CEREBRAL PALSY. Developmental Medicine and Child Neurology.1995; 37: 1020 – 1026
4.P Nigel, Korzeniewski S et al. The Role of the Intrauterine and Perinatal Environment in Cerebral Palsy. Neoreviews 2005;6;e133-e140
5.Hahn S J. HYPOXIC-ISCHEMIC BRAIN. INJURY of the NEWBORN. & CEREBRAL PALSY. Dalam http : http://www.livingwithcerebralpalsy.com/Cerebral%20Palsy%20and% 20New%20Born.pdf.html
6.Peter L. Rosenbaum L P, Walter D S et al. Prognosis for Gross Motor Function in Cerebral Palsy : Creation of Motor Development Curves. JAMA. 2002;288(11):1357-1363