Anemia Defisiensi Besi
Masalah defisiensi nutrisi, baik yang menyangkut makronutrien maupun mikronutrien, masih menjadi perhatian utama di negara berkembang termasuk Indonesia. Defisiensi ini bukanlah semata-mata hanya karena kuantitasnya saja tetapi tidak jarang menyangkut ketidakserasian dalam mengkomposisi nutrien secara optimal yang pada akhirnya berdampak pada asupan gizi secara keseluruhan.
Salah satu elemen mikronutrien yang penting ialah besi (Fe). Kekurangan besi, apalagi bila telah menyebabkan anemia terbukti memberikan pengaruh buruk bagi tumbuh kembang anak dan bayi sampai remaja, khususnya dan segi prestasi dan kualitas hidup serta kinerja sebagai sumber daya manusia di masa mendatang
Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia akibat kekurangan zat besi untuk sintesis hemoglobin dan merupakan defisiensi nutrisi yang paling banyak pada anak dan menyebabkan masalah kesehatan yang paling besar di seluruh dunia terutama di negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Komplikasi ADB akibat jumlah total besi tubuh yang rendah dan gangguan pembentukan hemoglobin (Hb) dihubungkan dengan gangguan fungsi kecerdasan, perubahan tingkah laku, tumbuh kembang yang terlambat dan penurunan kekebalan tubuh anak.
Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan prevalens ADB pada bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut-turut sebesar 61,3%, 64,8% dan 48,1%. Pada usia balita, prevalens tertinggi ADB umumnya terjadi pada tahun kedua kehidupan akibat rendahnya asupan besi melalui diet dan pertumbuhan yang cepat pada tahun pertama. Angka kejadian ADB lebih tinggi pada usia bayi, terutama pada bayi prematur (sekitar 25-85%) dan bayi yang mengonsumsi ASI secara eksklusif tanpa suplementasi
Tanda dan Gejala Anemia :
- Pucat yang berlangsung lama tanpa manifestasi perdarahan
- Mudah lelah, lemas, mudah marah, tidak ada nafsu makan, daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun, serta gangguan perilaku dan prestasi belajar
- Gemar makanan yang tidak biasa (pica) seperti es batu, kertas, tanah, rambut
- Memakan bahan makanan yang kurang mengandung zat besi, bahan makanan yang menghambat penyerapan besi seperti kalsium dan fitrat (beras, gandum) serta konsumsi susu sebagai sumber energi utama sejak bayi sampai usia 2 tahun (milkaholic)
- Infeksi malaria, infestasi parasit seperti ankylostoma dan schistosoma
Pemeriksaan Fisik :
- Gejala klinis ADB sering terjadi perlahan dan tidak begitu diperhatikan oleh keluarga. Bila kadar Hb < 5g/dl ditemukan gejala iritabel dan anoreksia.
- Pucat ditemukan bila kadar Hb < 7 g/dl
- Tanpa Organomegali
- Gangguan pertumbuhan
- Rentan terhadap infeksi
- Penurunan aktivitas kerja
- Dapat ditemukan koilonika (kuku sendok), atrofi glositis (lidah halus), angular cheilitis (ulkus di sudut mulut), takikardi (jantung berdebar debar), gagal jantung
Kriteria diagnostik ADB menurut WHO :
- Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
- konsentrasi Hb eritrosit rata rata 31% (N; 32 – 35%)
- Kadar Fe serum < 50mikrogram/dl (N: 80- 180 mikrogram/dl)
- Saturasi transferin < 15% (N: 2-0- 25%)
- Kriteria ini harus dipenuhi paling sedikit nomor 1,3,4. Tes yang paling efisien untuk mengukur cadangan besi tubuh yaitu feritin serum.
Bila sarana terbatas dapat ditegakkan berdasarkan :
- Anemia tanpa perdarahan
- Tanpa organomegali
- Gambaran darah tepi : mikrositik, hipokromik,anisositosis, sel target
- Respon terhadap pemberian terapi besi
Tatalaksana :
- Mengetahui faktor penyebab : riwayat nutrisi, kelahiran, adanya perdarahan yang abnormal, pasca pembedahan
- Preparat besi : yang tersedia ferous sulfat, ferous glukonas, ferous fumarat dan ferous suksinat. Dosis besi elemntal 4 – 6 mg/kgBB/hari. Respon terapi dengan menilai kenaikan kadar Hb/Ht setelah satu bulam yaitu kenaikan kadar Hb sebesar 2g/dl atau lebih. Bila respon baik lanjutkan sampai 2 – 3 bulan.
- Komponen besi elemental : Ferous fumarat : 33% merupakan besi elemental
- Ferous glukonat : 11,6% besi elemental
- Ferous sulfat : 20% merupakan besi elemental
- Transfusi darah : Jarang diperlukan, hanya bila kadar Hb < 4 g/dl. Komponen yang diberi PRC
Pencegahan Primer :
- ASI eksklusif selama 6 bulan
- Menunda pemberian susu sapi sampai usia 1 tahun
- Menggunakan sereal/ tambahan makanan yang difortifikasi (diberi tambahan suplemen besi) tepat waktu yaitu sejak usia 6 bulan sampai 1 tahun (pada bayi cukup bulan) dan dapat dimulai pemberian suplemen besi pada usia dua minggu pada bayi kurang bulan.
- Pemberian vitamin C seperti jeruk, apel pada waktu makan dan minum preparat besi untuk meningkatkan absorbsi besi dan menghindari bahan yang menghambat absorbsi besi seperti teh, fosfat dan fitrat pada makanan.
- Menghindari minum susu berlebihan dan meningkatkan makanan yang mengandung kadar besi yang berasal dari hewani
- Meningkatkan kebersihan lingkungan
Rekomendasi 1 : Suplementasi besi diberikan kepada semua anak, dengan prioritas usia balita (0-5 tahun), terutama usia 0-2 tahun.
Rekomendasi 2 : Dosis dan lama pemberian suplementasi besi:
Usia (tahun) | Dosis besi elemental | Lama pemberian |
Bayi* : BBLR (< 2.500 g) | 3 mg/kgBB/hari | Usia 1 bulan sampai 2 tahun |
Cukup bulan | 2 mg/kgBB/hari | Usia 4 bulan sampai 2 tahun |
2 – 5 (balita) | 1 mg/kgBB/hari | 2x/minggu selama 3 bulan berturut-turut setiap tahun |
> 5 – 12 (usia sekolah) | 1 mg/kgBB/hari | 2x/minggu selama 3 bulan berturut-turut setiap tahun |
12 – 18 (remaja) | 60 mg/hari# | 2x/minggu selama 3 bulan berturut-turut setiap tahun |
Keterangan: *Dosis maksimum untuk bayi: 15 mg/hari, dosis tunggal
#Khusus remaja perempuan ditambah 400 ?g asam folat
Rekomendasi 3 : Saat ini belum perlu dilakukan uji tapis (skrining) defisiensi besi secara massal.
Rekomendasi 4 : Pemeriksaan kadar hemoglobin (Hb) dilakukan mulai usia 2 tahun dan selanjutnya setiap tahun sampai usia remaja. Bila dari hasil pemeriksaan ditemukan anemia, dicari penyebab dan bila perlu dirujuk.
Rekomendasi 5 : Pemerintah harus membuat kebijakan mengenai penyediaan preparat besi dan alat laboratorium untuk pemeriksaan status besi.
Sumber : Rekomendasi Suplemen Besi, Pedoman Pelayanan Medis IDAI
0 Komentar