oleh dr Vicka Farah Diba 

Kurang lebih enam tahun yang lalu, saat saya sedang menjalani tugas sebagai seorang dokter muda atau Koas di bagian Ilmu Kesehatan Jiwa. Kala itu, hampir setiap sore ada seorang mantan pasien yang sangat rajin mengunjungi bangsal tempat dia pernah dirawat dulu. Dia datang untuk menikmati indahnya senja hari di RS, sambil bercengkerama bersama para perawat yang pernah merawatnya dulu atau dengan dokter yang sedang bertugas jaga saat itu. 


Begitu juga sore itu, ketika saya sedang mendapat tugas giliran jaga. Sang Bapak datang kembali untuk menikmati indahnya senja hari di bangsal Jiwa RS yang memang bernuansa adem dan menyejukkan mata. Saya pun kemudian menyapanya dan mencoba menemaninya mengobrol. Sang Bapak ternyata cukup ramah dan terbuka. Obrolan kami awalnya memang bersikap ringan ringan saja, namun tak lama kemudian diapun mulai membuka diri dan menceritakan kisah hidupnya.

Sang Bapak bercerita bahwa saat ini dia tinggal bersama keluarga adiknya sebagai satu satunya keluarga yang ia miliki saat ini. Sang Bapak memang pernah menikah walau tidak sempat memiliki anak. Namun sayang, sang Istri tercinta meninggalkannya ketika ia jatuh sakit dan mulai dirawat di RS jiwa. Sang Bapak dengan besar hati menyatakan bahwa ia tidak pernah marah atau benci pada sikap istrinya saat itu atau sekarang. Ia bisa memahami bagaimana perasaan istrinya yang takut dan bingung melihat dirinya dulu, hingga akhirnya meninggalkannya dirawat sekian lama di RS Jiwa.

Dan akhirnya, sekarang setelah dinyatakan bisa berobat jalan oleh dokter, iapun tinggal di rumah adiknya. Namun sayang, ia menilai suasana rumah adiknya saat ini kurang kondusif untuk penyembuhan jiwanya. Adik dan teman teman adiknya sering berkumpul dirumah mereka untuk main judi atau minum minuman keras. Sang Bapak sudah berusaha beberapa kali mengingatkan adiknya, namun sayang tidak pernah diindahkan. Sehingga iapun kemudian memilih untuk tidak berdebat lebih lanjut dan mencari tempat melepas lelah sambil menenangkan diri sepulang kerja setiap sore di sini, di bangsal Jiwa tempat ia pernah dirawat dulu.

Sang Bapak mengakui bahwa hatinya lebih tenang, pikirannya lebih terbuka dan bersemangat setiap ia bertemu dengan mantan perawat dan dokternya dahulu. Sekilas, saya masih melihat sebuah kepedihan yang dalam ketika ia menyadari bahwa ia telah ditinggalkan oleh istrinya dan tidak mempunyai seorang anak untuk menemaninya saat ini. Namun saya juga melihat sebuah kegigihan luar biasa untuk sembuh dan bangkit kembali menjalani sepahit apapun kenyataan hidup yang mungkin sangat jauh dari harapannya itu. 

Sang Bapak juga mempunyai komitmen tinggi menerima dengan lapang dada apapun takdir Tuhan untuknya. Serta berusaha mencari jalan keluar pemasalahan terbaik seperti akan mengadopsi seorang anak untuk menemaninya jika ia sudah semakin mapan dan mandiri kelak. Ia bahkan sudah menemukan jalan damai dalam permasalahannya dengan keluarga adiknya, dengan menikmati indahnya senja hari di bangsal Jiwa ini, sambil mensyukuri apapun yang ia miliki.  
Sungguh saya merasa sangat beruntung dapat bertemu dengannya senja itu, serta dapat menceritakan kisahnya kembali saat ini. 

Menurut pandangan umum sendiri, orang gila adalah orang yang sakit jiwa atau yang sakit ingatan lantaran ada gangguan pada urat sarafnya. Dan biasanya, jika kita bicara tentang orang gila, yang terbayang di pelupuk mata kita adalah keadaan seseorang yang kusut masai; tidak mandi; berpakaian lusuh; robek atau koyak disana sini; bahkan ada juga yang berkeliaran dalam keadaan telanjang bulat. Suka mengoceh atau meracau sesuka hatinya; bahkan kadang-kadang juga suka marah dan mengamuk tanpa jelas sebab musababnya; serta berbagai macam keadaan-keadaan yang tidak normal lainnya menurut definisi sehat yang kita pahami secara umum. Namun ternyata, dalam Islam terdapat definisi dan pandangan yang sangat berbeda mengenai orang gila. 

Syaikh Abdullah Al-Ghazali dalam Risalah Tafsir menyampaikan sebuah riwayat (hadis) sebagai berikut “Pada suatu hari Rasulullah SAW berjalan melewati sekelompok sahabat yang sedang berkumpul. Lalu beliau bertanya kepada mereka: “Mengapa kalian berkumpul disini”
Para sahabat tersebut lalu menjawab: “Ya Rasulullah, ada orang gila yang sedang mengamuk. Oleh sebab itulah kami berkumpul disini.” Menanggapi hal itu Rasulullah SAW lalu bersabda: “Sesungguhnya orang ini tidaklah gila (al-majnun), tapi orang ini hanya sedang mendapat musibah. 

Tahukah kalian, siapakah orang gila yang sebenar-benarnya disebut gila (al-majnuun haqqul majnuun) “. Para sahabat lalu menjawab: Tidak ya Rasulullah. Hanya Allah dan rasul-Nya jualah yang mengetahuinya.”

Kemudian Rasulullah SAW menjelaskan: “Orang gila yang sesungguhnya gila (al-majnun haqqul majnun) adalah orang yang berjalan dengan penuh kesombongan; yang membusungkan dadanya; yang memandang orang dengan pandangan yang merendahkan; lalu berharap Tuhan akan memberinya surga; padahal ia selalu berbuat maksiat kepada-Nya. Selain itu orang-orang yang ada di sekitarnya, tidak pernah merasa aman dari kelakuan buruknya. Dan di sisi yang lain, orang juga tak pernah mengharapkan perbuatan baiknya. Nah, orang semacam inilah yang disebut sebagai orang gila yang sebenar-benarnya gila (al-majnuun haqqul majnuun). Adapun orang yang kalian tonton ini, hanyalah orang yang sedang mendapat musibah dari Allah.”

Majnun, orang gila, berasal dari akar kata jannat, yang artinya menutupi. Dia masih mempunyai akal,tetapi akalnya itu tidak dapat menerangi perilakunya. Akalnya sudah dikuasai hawa napsunya. Dengan pengertian inilah Nabi Muhammad SAW, menyebut orang takabur sebagai majnun.
Sementara Nabi menyebut "orang yang perilakunya tidak normal" atau "gila" dalam pandangan umum saat ini, adalah dengan Mubtala : Yaitu orang yang mendapat musibah, orang sakit. Dia sakit karena tidak sanggup menanggung derita. Perilakunya yang aneh hanyalah teknik untuk melarikan diri dari kenyataan yang sangat menyakitkan : berpisah dengan orang yang dicintai, dikhianati sahabat atau orang tercinta, kehilangan pekerjaan, menghadapi buah simalakama, dsb. Nabi SAW menyuruh kita melihat orang seperti itu sebagai orang yang patut kita bantu. Ia bukan Majnun, tetapi Mubtala. Kita harus meringankan deritanya dan memberikan jalan keluar dari bala yang mengenainya. Ia bukan orang yang tertutup akalnya. Ia hanyalah orang yang hancur hatinya.
Bukankah Tuhan berkata : "Carilah Aku ditengah-tengah orang yang hancur hatinya ?"  Orang yang kena bala harus didekati, tetapi orang gila harus dijauhi.
Menyimak apa yang disabdakan oleh Rasulullah SAW tersebut, maka dapatlah kita simpulkan; Bahwa orang gila yang sesungguhnya gila atau (al-majnuun haqqul majnuun) adalah orang-orang yang sehat jasmani dan ruhani-nya; yang tetap memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan hukum agama yang dibebankan kepadanya. Akan tetapi di dalam masyarakatnya, yang memiliki beberapa penyakit yang antara lain dijelaskan oleh Rasulullah SAW; Orang yang sombong; yang apabila berjalan ia melangkahkan kakinya dengan pongah; dan selalu ingin dihormati; serta selalu memandang rendah kepada orang lain. Dan di balik kesombongannya itu, selalu berharap agar Allah memberinya pahala atas perbuatannya, dan apabila sudah mati ingin pula masuk ke dalam surganya Allah SWT.

Tidak hanya sombong, tapi juga banyak melakukan perbuatan maksiat dan kejahatan; baik nyata maupun tersembunyi, yang oleh sebab ini pula maka banyak orang-orang yang ada di sekitarnya, yang tidak pernah berharap akan kebajikan yang mereka perbuat. Sehingga pada akhirnya orang tidak lagi peduli dengan kebajikan maupun kejahatan yang mereka lakukan.
Kalaupun orang-orang di sekitar mereka menaruh rasa hormat dan simpati, hal itu mungkin disebabkan oleh berbagai macam pertimbangan, agar tidak tumbuh masalah lain, yang berdampak buruk pada tata pergaulan hidup yang ada.

Sedangkan untuk orang yang disebut dengan Mubtala, Rasullulah sendiri menganjurkan kita untuk membantu mereka, meringankan penderitaanya dan tidak meninggalkannya. Sehingga tentunya bukan suatu perbuatan bijak dan terpuji apabila kita mengejek, mengucilkan atau membiarkan orang dalam kondisi tersebut berkeliaran di jalan dalam keadaan yang memalukan. Atau bahkan ada juga anggota keluarga yang tega bersikap tidak manusiawi seperti mempasung mereka di rumah, karena merasa malu dengan kondisi mereka pada orang lain. Sesungguhnya yang perlu diwaspadai dan dihindari oleh diri kita atau masyarakat adalah orang gila yang sebenarnya atau al-majnuun haqqul majnuun, yaitu orang sehat dan waras akal pikirannya namun sombong serta memiliki sifat buruk lainnya. 

Mengapa Rasulullah SAW menyatakan, bahwa orang yang sombong dan yang memiliki sifat buruk lainnya, adalah orang gila yang sebenar-benarnya gila (al-majnun haqqul majnun)? Perkara ini tentu saja tidak lepas dari pernyataan-pernyataan Allah SWT di dalam Kitab-Nya; Al-Qur’anul Karim, yang beberapa di antaranya:

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mem-persekutukan-Nya dengan sesuatupun; dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (Q.S. An-Nisaa’: 36)

Sedangkan dalam surah Al-Israa’ ayat 37 ditegaskan oleh Allah SWT: “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguh-nya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (Q.S.Al-Israa’: 37)
Allah SWT juga berfirman: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesung-guhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Q.S. Luqman: 18)

Selanjutnya dengan menyimak beberapa keterangan di atas, maka boleh jadi pepatah atau kalimat men sana in corpore sano atau dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat; tidak sepenuhnya dapat kita terima. Sebab dalam kenyataannya; di sekitar kita cukup banyak orang-orang yang sehat badannya, akan tetapi ia memiliki berbagai ragam penyakit jiwa sebagaimana yang tersirat dalam firman Allah SWT atau hadis Rasulullah SAW yang telah disampaikan di atas.

Demikianlah yang dapat saya sarikan dari sekelumit pengalaman hidup saya dan sari tulisan oleh KH.BACHTIAR AHMAD berdasarkan hadist dan Quran. Semoga ulasan ini dapat menambah pemahaman dan membuka wawasan kita bersama. Amin Ya Rabbalalamin.