Dalam Undang Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 dinyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan ketentuan untuk mencegah terjadinya Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) dan pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak. Penyelenggaraan imunisasi tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 42 Tahun 2013.
Setiap negara mempunyai program imunisasi yang berbeda, bergantung pada prioritas dan keadaan kesehatan masing-masing negara. Penentuan jenis imunisasi didasarkan atas kajian ahli dan analisis epidemiologi atas penyakit yang timbul. Di Indonesia, program imunisasi mewajibkan setiap bayi (0—11 bulan) mendapatkan imunisasi dasar lengkap yang terdiri atas 1 dosis Hepatitis B, 1 dosis BCG, 3 dosis DPT-HB-HiB, 4 dosis Polio tetes, dan 1 dosis Campak

Jadwal Imunisasi Anak Usia 0– 18 Tahun
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 2017

1. VAKSIN HEPATITIS B (HB)
Hepatitis B menjadi ancaman bagi bayi-bayi Indonesia mengingat Indonesia termasuk negara endemis sedang-tinggi. Bayi yang terinfeksi virus hepatitis B berisiko lebih tinggi mengalami penyakit hati kronis dibandingkan orang dewasa yang terkena hepatitis B pada masa dewasa. Namun, penularan virus tersebut dapat dicegah dengan vaksinasi segera.
Jadwal Pemberian:
• Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya untuk mencegah terjadi perdarahan akibat kekurangan vitamin K.
• Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatitis B (HBIg) pada ekstremitas yang berbeda.

Jadwal Imunisasi IDAI 2017

• Vaksinasi Hepatitis B berikutnya dapat diberikan dengan vaksin monovalen atau vaksin kombinasi. Jadwal pemberian vaksin HB monovalen adalah usia 0,1 dan 6 bulan.
• Apabila diberikan vaksin HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada usia 2, 3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan.
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi:
• Meskipun jarang terjadi, biasanya dapat timbul demam yang tidak tinggi. Ada pula yang merasakan nyeri sendi atau mual. Kemerahan serta pembengkakan dapat terjadi pada tempat penyuntikan.
• Atasi gejala tersebut dengan memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah). Bila demam, kenakan pakaian tipis pada bayi. Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres dengan air hangat. Jika reaksi tersebut menjadi berat dan menetap atau jika Mama Papa merasa khawatir, bawalah bayi ke dokter.

2. VAKSIN POLIO
Vaksinasi Polio memberikan kekebalan terhadap penyakit polio yang menyebabkan kelumpuhan (lumpuh layu) pada anggota badan bawah anak. Vaksin Polio ada 2 macam yakni:
• Vaksin Polio Oral (Oral Polio Vaccine = OPV), berisi virus polio yang masih hidup, tetapi sudah dilemahkan. Diberikan dua tetes ke mulut bayi. Bila pada saat imunisasi, bayi/anak muntah dalam waktu 10 menit, maka pemberiannya harus diulang dengan dosis yang sama. Jika muntah berulang, berikan lagi pada keesokan harinya. Vaksin Polio hidup (oral) tidak boleh diberikan bila bayi/anak demam tinggi di atas 38,5°C, diare atau muntah muntah, dalam pengobatan kortikosteroid, menderita kanker, HIV atau penyakit hipogamaglobulin.
• Vaksin Polio Inaktivasi (Inactived Poliomyelitis Vaccine = IPV), berisi virus Polio tidak aktif, diberikan 0,5 ml dengan cara suntikan di otot paha atau lengan. Vaksin IPV dapat diberikan dalam bentuk kombinasi (DTaP/IPV, DTaP/Hib/IPV). Berbeda dari OPV, vaksin polio inaktivasi/suntik boleh diberikan pada anak dengan kekebalan tubuh rendah, misalnya, karena sedang mendapat pengobatan kortikosteroid dosis tinggi dalam jangka lama, mendapat obat-obat antikanker, menderita HIV/AIDS, atau di dalam rumahnya ada penderita-penderita tersebut.
Jadwal Pemberian:
• Pemberian pertama imunisasi Polio harus dalam bentuk vaksin Polio Oral (OPV-0). Apabila bayi lahir di rumah, segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat bayi dipulangkan.
• Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling sedikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian OPV-3.
• Dalam rangka Eradikasi (pemusnahan) Polio (ERAPO), masih diperlukan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) sesuai anjuran Departemen Kesehatan. Pada PIN, semua balita harus mendapatkan imunisasi OPV tanpa memandang status imunisasinya, untuk memperkuat kekebalan mukosa saluran cerna dan memutuskan transmisi virus polio liar.
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi:
• Sebagian kecil anak setelah imunisasi dapat mengalami gejala pusing, diare ringan, nyeri otot.
• Setelah mendapat imunisasi polio oral (OPV), pada tinja bayi akan terdapat virus polio selama 6 minggu sejak pemberian imunisasi. Untuk itu, cucilah tangan setelah mengganti popok bayi.
• OPV dan IPV mengandung sejumlah kecil antibiotik (neomisin, polimiksin, dan streptomisin), tetapi hal ini tidak merupakan kontraindikasi, kecuali pada anak yang mempunyai bakat hipersensitif berlebihan.

3. VAKSIN BCG
Vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guérin) adalah vaksin hidup yang sudah dilemahkan dari Mycobacterium bovis. Vaksinasi BCG tidak mencegah seseorang terinfeksi penyakit tuberkulosis, tetapi mencegah perkembangan penyakit tersebut dan mengurangi risiko terjadinya penyakit tuberkulosis (TB) berat, seperti meningitis TB dan tuberkulosis miilier.
Jadwal Pemberian:
• Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, optimal usia 2 bulan. Apabila diberikan pada usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu.
• Pada bayi dengan ibu yang posiitif menderita TB atau bayi yang berkontak erat dengan pasien TB, sebaiknya vaksinasi BCG ditunda dan diberikan INH profilaksis (pencegahan) terlebih dahulu.
• Penyuntikan vaksin BCG dilakukan secara intradermal (dalam kulit) 0,1 ml untuk anak dan 0,05 ml untuk bayi baru lahir di lengan kanan atas atau paha.
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi:
• Penyuntikan BCG secara intradermal dapat menimbulkan bisul kecil dan bernanah di wilayah bekas suntikan yang akan sembuh dalam jangka waktu 2—3 bulan. Munculnya bisul menandakan imunisasi berhasil. Bisul perlahan akan sembuh dan menimbulkan jaringan parut dengan diameter 4—8 mm.
• Jika bisul tidak muncul, mungkin saja disebabkan oleh cara penyuntikan yang kurang benar. Meski demikian, antibodi dalam tubuh tetap terbentuk, hanya dalam kadar yang rendah. Namun imunisasi BCG tidak perlu diulang lagi, karena di wilayah endemis TB, infeksi alamiah akan selalu terjadi.

4. VAKSIN DTP
Vaksinasi ini diberikan untuk mendapatkan kekebalan terhadap ketiga penyakit ini: difteri, pertusis (batuk rejan/batuk 100 hari), dan tetanus.
Terdapat 2 jenis vaksin DPT:
• Dengan kandungan seluruh sel kuman pertusis (whole cell pertussis), disingkat DTwP. Vaksin inilah yang tersedia di posyandu dan puskesmas.
• Vaksin yang tidak mengandung kuman pertusis, tapi berisi komponen spesifik toksin dari kuman pertusis, disebut sebagai aseluler pertusis, disingkat DTaP. Keuntungan vaksin ini, memberikan reaksi lokal dan demam yang lebih ringan dibanding vaksin whole cell.
Jadwal Pemberian:
• Imunisasi dasar DPT diberikan 3 kali. Dosis pertama diberikan pada usia lebih dari 6 minggu dengan interval 1—2 bulan untuk pemberian selanjutnya. Tidak diberikan pada bayi kurang dari usia 6 minggu karena respons terhadap pertusis tidak optimal.
• Vaksin dengan dosis 0,5 ml disuntikkan di otot paha, dapat diberikan vaksin DTPw atau DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain.
• Apabila diberikan vaksin DTPa, maka interval mengikuti rekomendasi vaksin tersebut, yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan.
• Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10—12 tahun dan booster Td diberikan setiap 10 tahun.
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi:
• Umumnya dapat terjadi demam ringan, nyeri, kemerahan atau pembengkakan di tempat penyuntikan.
• Untuk mengatasi nyeri dan menurunkan demam bisa diberikan parasetamol. Pembengkakan di tempat penyuntikan bisa dikurangi dengan kompres air hangat.
• Jika terjadi reaksi anafilaksis (alergi) berat atau ensefalopati (kelemahan otak) dengan gejala hiperpireksia (demam tinggi), hipotonik-hiporesponsif (kelemahan otot) dalam 48 jam, anak menangis terus-menerus selama 3 jam lebih, dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudah pemberian DPT, maka dapat diberikan vaksin DT (vaksin pertusis tidak digunakan lagi).

5. VAKSIN HIB
Memberikan kekebalan terhadap infeksi bakteri Haemophilus influenzae tipe B (HiB) sebagai penyebab berbagai penyakit serius dan kematian, terutama pada bayi kecil. Seperti: radang selaput otak (meningitis), radang paru-paru (pneumonia), dan sulit bernapas akibat epiglotitis (infeksi dan pembengkakan katup tulang rawan di dalam tenggorokan yang menutup saat kita menelan, agar makanan tidak masuk dalam tenggorokan).
Jadwal Pemberian:
Vaksin HiB diberikan sebanyak 3 dosis sejak usia 2 bulan, berikutnya usia 4 dan 6 bulan. Imunisasi ulangan (booster) pada usia 15—18 bulan. Pemberian dapat dikombinasikan dengan vaksin lain.
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi:
Kadang dapat dijumpai demam ringan, nyeri, dan bengkak pada bekas suntikan yang berlangsung sekitar 1—2 hari. Penanganan sama seperti pada vaksinasi lainnya.

6. VAKSIN CAMPAK
Memberikan kekebalan terhadap komplikasi berat penyakit campak (measles atau morbili) seperti pneumonia dan ensefalitis. WHO menganjurkan imunisasi campak diberikan pada bayi berumur 9 bulan di negara berkembang karena angka kejadian campak yang masih tinggi.
Jadwal Pemberian:
• Imunisasi Campak pada program nasional diberikan 2 kali pada umur 9 bulan dan ulangan (booster) pada usia 18 bulan.
• Bila mendapat imunisasi MMR di usia 15 bulan, maka vaksin Campak kedua (18 bulan) tidak perlu diberikan.
• Imunisasi lanjutan diberikan pada saat anak masuk SD, usia 6 tahun (Program BIAS).
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi:
• Meski jarang terjadi, dapat muncul gejala demam hingga 39,5°C pada hari ke-5—6 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2 hari.
• Ruam (bercak-bercak merah) dapat dijumpai pada 5% anak, timbul pada hari ke-7—10 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2—4 hari. Reaksi berat seperti ensefalitis (radang otak) sangat jarang terjadi.

Bersambung : Dari Jadwal Hingga Efek Samping (II)

Penulis :
Dr. Vicka Farah Diba, MSc., SpA
RS Condong Catur Yogyakarta
Asri Medical Centre Yogyakarta
Telah Terbit di Tabloid Nakita ed 950