Mewaspadai Pertusis
Belum lama ini, pertusis telah merenggut nyawa 35 balita (dan tiga orang dewasa) di Papua, tepatnya pada tujuh kampung di Kabupaten Nduga, selama periode Oktober hingga Desember 2015. Dari hasil tim investigasi (gabungan dari beberapa unsur, yaitu: Kemenkes, Kementan, Kemenhan, TNI, Polri, Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinkes Kabupaten, serta Satgas Kaki Telanjang), dipastikan penyebab kematian tersebut adalah penyakit pertusis dengan komplikasi penumonia.
Faktor risiko kejadian pertusis yang meningkat di Kabupaten Nduga, antara lain disebabkan oleh suhu udara di daerah ini lebih dingin dibanding tahun-tahun sebelumnya. Akibatnya, penduduk tinggal di dalam rumah honai yang tidak memiliki ventilasi. Sementara, untuk mengatasi rasa dingin, penduduk membuat perapian di dalamnya.
Dari hasil pemeriksaan juga diketahui, 90% penduduk menderita Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA). Secara umum, kondisi ini menjadi pencetus gangguan pernapasan, termasuk penyakit pertusis. Untuk mengendalikan kejadian ini, Kemenkes telah melakukan respons cepat penanggulangan pertusis di Kecamatan Mbuwa dan Kecamatan Bulmiyalma, Kab.Nduga.
MUDAH MENULAR
Pertusis (batuk rejan atau batuk 100 hari) merupakan batuk panjang yang berlangsung lama dan menimbulkan bunyi whoop setelah batuk panjang. Batuk panjang ini dapat menimbulkan perdarahan pada mata. Batuk juga dapat berlangsung beberapa minggu sehingga menyebabkan anak absen ke sekolah. Pertusis dapat menyerang bayi dan menimbulkan radang paru serta berakibat fatal.
Pertusis disebabkan oleh infeksi bakteri Gram-negatif Bordetella Pertussis pada saluran napas, sehingga dapat menimbulkan batuk hebat yang khas. Diperkirakan pada 2008 terjadi 16 juta kasus pertusis di seluruh dunia, 95% di antaranya terjadi di negara sedang berkembang. Angka kematian akibat pertusis mencapai 195.000 anak.
Kuman pertusis sangat mudah menular melalui batuk dan bersin. Tanpa perawatan, penderita pertusis dapat menularkannya kepada orang lain sampai tiga minggu setelah batuk mulai terjadi. Anak-anak yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap, status gizi buruk, dan tinggal dalam pengungsian/komunitas padat, mudah terpapar pertusis.
TIGA STADIUM
Mama, bila si kecil menunjukkan gejala batuk yang frekuensinya terus bertambah dari hari ke hari, disertai pilek dan malas makan, sekalipun tidak ada demam, baiknya periksakan ke dokter. Itu merupakan gejalan klinis awal terkena pertusis. Apalagi bila si kecil juga ada kontak dengan penderita atau anak yang belum diimunisasi atau imunisasinya tidak lengkap dan mengalami batuk pilek.
Lebih lengkapnya, ini tingkatan gejala klinis pertusis sesuai dengan stadiumnya.
# Pertama, stadium kataral.
Stadium ini berlangsung 2—7 hari dengan gejala klinis minimal, yaitu: pilek, malas makan, frekuensi batuk bertambah, bisa disertai demam ataupun tanpa demam.
# Kedua, stadium paroksismal.
Stadium ini berlangsung 1—2 minggu (bisa juga mencapai 8 minggu), dengan karakteristik “batuk pertusis” terutama pada pasien usia 6 bulan hingga 5 tahun: batuk mengonggong diikuti dengan muntah saat bayi/balita makan atau beraktivitas. Dapat pula dijumpai muka merah hingga biru, mata menonjol, lidah menjulur, produksi kelenjar air mata dan liur berlebih, pelebaran vena di leher, serta penurunan kesadaran dan penurunan berat badan.
# Stadium konvalesens.
Gejala akan berkurang dalam beberapa minggu sampai dengan beberapa bulan; dapat terjadi komplikasi berupa bercak darah pada kepala/leher, perdarahan mata, dan infeksi paru.
PENANGANAN PERTUSIS
Untuk memastikan si kecil terkena pertusis, dokter akan meminta Mama melakukan pemeriksaan penunjang berupa:
Pemeriksaan darah, hasilnya menunjukkan ada peningkatan jumlah sel leukosit (15.000—100.000/mm3) dengan peningkatan jenis sel limfosit (limfositosis absolut) selain juga didapatkan antibodi IgG terhadap toksin pertusis.
• Foto dada (rontgen), dijumpai adanya bercak (infiltrat) paru, kolaps paru (atelektasis), atau empiema (infeksi paru).
• Diagnosis pasti bila ditemukan organisme bakteri B. Pertusis pada fase awal penyakit dengan pemeriksaan apusan rongga hidung dan langit langit belakang rongga mulut (apus nasofaring)
Setelah si kecil diketahui positif menderita pertusis, maka ia perlu menjalani rawat inap untuk mendapatkan tindakan berikut:
• Pemberian oksigen hingga mesin bantuan napas (ventilasi mekanik) jika dibutuhkan.
• Observasi ketat, terutama pada bayi, untuk mencegah/mengatasi terjadinya henti napas dan biru atau kekurangan oksigen.
• Pemberian terapi antibiotik untuk menghilangkan infeksi, mengurangi angka kesakitan dan mencegah kompilkasi (pneumonia, kejang, perdarahan).
• Isolasi pasien, terutama bayi, selama 4 minggu atau 5—7 hari selama pemberian antibiotik hingga selesai. Gejala batuk paroksismal setelah terapi antibiotik tidak berkurang, namun terjadi penurunan transmisi setelah pemberian terapi hari ke-5.
• Pasien diperbolehkan pulang bila gejala membaik, pengobatan antibiotik minimal 5-7 hari dan tidak dijumpai penyulit.
HINDARI SI KECIL DARI PERTUSIS
Bagaimanapun, mencegah tentu lebih baik daripada mengobati, ya, Ma. Nah, agar si buah hati dapat terhindar dari pertusis, inilah yang perlu dilakukan:
• Hindari kontak dengan penderita. Bayi memerlukan dua atau tiga vaksinasi sebelum terlindung. Oleh karena ini, penting sekali bayi Anda menjauhi dari orang yang menderita penyakit batuk supaya pertusis atau kuman lain tidak ditularkan :
– Sampai hari ke-5 pemberian antibiotik yang efektif.
– Sampai minggu ke-3 setelah timbul batuk paroksismal, apabila tidak diberikan antibiotik.
• Perhatikan kebersihan lingkungan, termasuk sirkulasi udara. Sebaiknya rumah memiliki cukup ventilasi alamiah, yaitu jendela dan lubang angin, agar pertukaran udara bisa terjadi secara alamiah. Buka jendela lebar-lebar agar sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah dan membunuh kuman-kuman penyakit.
• Berikan imunisasi. Sudah selayaknya kita menjadikan imunisasi sebagai salah satu dari hak anak yang harus diberikan. Dengan imunisasi, anak dapat terhindar dari kesakitan, kecacatan, bahkan kematian yang disebabkan oleh penyakit-penyakit yang dapat dicegah oleh imunisasi, seperti hepatitis B, TBC, polio, difteria, pertusis, tetanus, campak, pneumonia, dan meningitis. Khusus pertusis dapat dicegah dengan pemberian vaksin DPT (difteri, pertusis, tetanus), jadi sekaligus untuk pencegahan difteri dan tetanus. (Lihat boks “Vaksin DPT”)
VAKSIN DPT
Dalam beberapa dekade terakhir, program imunisasi pertusis pada bayi menunjukkan hasil yang menggembirakan dalam menurunkan kejadian pertusis berat di seluruh dunia.Pada tahun 2008, sekitar 82% bayi menerima 3 dosis vaksin pertusis dan diharapkan mampu menekan angka kematian.
Terdapat 2 jenis vaksin DPT :
• Vaksin yang mengandung seluruh sel kuman pertusis (whole cell pertussis), disingkat DTwP. Vaksin inilah yang tersedia di posyandu dan puskesmas.
• Vaksin yang tidak mengandung kuman pertusis, tapi berisi komponen spesifik toksin dari kuman pertusis, disebut sebagai aseluler pertusis, disingkat DTaP. Keuntungan vaksin ini, memberikan reaksi lokal dan demam yang lebih ringan dibanding vaksin whole cell.
Aturan pemberian:
• Imunisasi dasar DPT diberikan tiga kali. Dosis pertama diberikan pada usia lebih dari 6 minggu dengan interval 1—2 bulan untuk pemberian selanjutnya.
• Tidak diberikan kepada bayi kurang dari usia 6 minggu karena respons terhadap pertusis tidak optimal.
• Vaksin dengan dosis 0,5 ml disuntikkan di otot paha.
• Dapat diberikan vaksin DtaP atau DTwP atau kombinasi dengan vaksin lain.
• DtaP atau DTwP, imunisasi DPT ulangan (booster) diberikan satu kali pada usia 18 bulan dan diulang lagi ketika usia 5 tahun.
• Untuk anak umur lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Tdap yang merupakan vaksin lanjutan dari DPT dan pemberiannya diulang setiap 10 tahun. (*)
0 Komentar