Gara Gara Pisang?
Gara gara Pisang?
Menjelang tengah malam, saya dipanggil datang ke UGD dan menerima pasien anak laki laki berusia 14 tahun dengan penurunan kesadaran. Keluarga yang mengantar hanya seorang ibu yang kebetulan juga tidak berada di tempat yang sama dengan anaknya. Sang ibu hanya menerima laporan bahwa setelah anaknya “makan pisang” tiba tiba anaknya muntah lalu tak sadarkan diri sampai sekarang.
Pemeriksaan laboratorium masih dalam batas normal demikian juga dengan riwayat kesehatan anak tersebut. Curiga adanya peningkatan intrakranial mendadak, saya lalu minta dilakukan Head Ct Scan pada anak tersebut. Hasilnya ditemukan adanya perdarahan otak. Dari dokter bedah syaraf tidak bisa dilakukan operasi karena lokasi perdarahan yg cukup sulit, sehingga diputuskan untuk dirawat secara konservatif di PICU bersama dokter syaraf.
Singkat cerita, anak tersebut dirawat selama dua minggu di PICU oleh saya dan dokter syaraf (tidak ada konsultan Picu dan konsultan syaraf anak di RS saya) Hingga akhirnya anak tersebut bisa sadar kembali meskipun dengan gejala sisa dan perlu dilakukan fisioterapi rutin. Penyebab perdarahan otak yg mendadak tersebut dicurigai akibat adanya AVM (arteri venous malformation) atau kelainan bentuk pembuluh darah bawaan.
Saat hendak pulang, Ibu tersebut bertanya kepada saya “Jadi dok, apakah anak saya boleh makan pisang lagi?”
“Maksudnya gimana bu?” saya balik bertanya
“Anak saya setelah makan pisang kan jadi seperti itu, apa boleh dia makan pisang lagi? Itu makanan kesukaan anak saya dok”
“Lho bu, anak ibu sakit bukan karena pisang” saya menjawab dengan kebingungan.
“Lha dulu waktu d Picu, selang lambung anak saya kan keruh sekali dok, lambungnya sakit itu dok karena pisang” jawab ibu itu masih ngotot
OMG, pada saat itu saya benar-benar tidak habis pikir, seingat saya setiap hari si ibu sudah diedukasi tentang penyebab sakit anaknya, bahkan bukan hanya oleh satu dokter saja. Dan tampaknya selama dijelaskan, ibu itu juga sudah mengerti. Lalu Kenapa bisa jadi begini?
Ya begitulah faktanya pemahaman pasien atau masyarakat terhadap dokter, penyakit dan kesehatan. Cerita ini belum ada apa-apanya karena meski kurang paham, si ibu masih mau mengikuti saran dan anjuran dokter hingga anaknya membaik. Masih banyak kisah yang lebih tragis dimana pasien menolak anjuran dokter dan berakhir dengan kecacatan hingga kematian.
Pada dasarnya semua dokter memahami ada 5 tahapan penerimaan pasien dalam diagnosis awal penyakit, kematian, kecacatan maupun penyakit gawat darurat
1. Penyangkalan (Denial) — “Bapak saya sakit stroke bukan covid” “Kenapa semua didiagnosis Covid?” “Mana mungkin Bapak saya kena Covid?” “Kami akan cari second opinion”
2. Marah (Anger) — "Ini tidak adil!”"Siapa yang harus disalahkan?" “Pasti ini bentuk konspirasi!” “RS menipu kami agar mendapat keuntungan”
3. Menawar (Bargaining) — "Tolong Biarkan kami membawa pulang Bapak” “Bapak saya tidak perlu dirawat di RS ini”
4. Depresi (Depression) — "Kami merasa sangat sedih” “Kami merasa kecewa”
5. Penerimaan (Acceptance) — "Saya tidak dapat melawan ini, Saya sebaiknya menerima dengan lapang hati” “Bapak saya selain stroke memang hasil PCRnya bisa juga positif” “Saya menyadari bahwa kami sebaiknya mengikuti protokol kesehatan dari RS”
Tahapan-tahapan ini tidak senantiasa berada dalam urutan seperti di atas, juga tidak semua pasien mengalami seluruh tahapan tersebut, setidaknya seorang pasien mengalami paling tidak dua tahapan hingga akhirnya tahapan "Penerimaan" (Acceptance) akan dicapai.
Akibat penggunan sosial media yang semakin marak, masyarakat atau pasien yang belum mencapai tahap acceptance dan umumnya masih dalam tahap denial dan anger ini sudah menyebarkan pemikirannya kemana-mana. Beberapa bahkan berani melakukan kekerasan terhadap nakes dan mempengaruhi orang banyak untuk mengikuti alur pikirannya.
Dalam kasus pandemi COVID-19, seluruh warga dunia berpotensi terkena infeksi penyakit ini dan hanya upaya bersama saja yang bisa menghentikan penyebarannya. Hanya dengan bekerjasama kita bisa mencapai “True Normal”. Jadi Jangan mudah diadu domba. Dengarkan pendapat ahli dan bukan ahli berpendapat 🙂
Salam,
dr Vicka SpA
0 Komentar