SINDROM HEMOLITIK UREMIK

I. PENDAHULUAN

Sindrom hemolitik uremik (SHU) adalah sekelompok gangguan heterogen dengan gejala klinis yang beragam dan berat. Sindrom ini pertama kali dikenalkan oleh Gesser dkk pada tahun 1955 dan merupakan penyebab gagal ginjal akut tersering pada anak. Sindrom ini ditandai dengan tiga gejala klinis yaitu : anemia hemolitik mikroangiopati, trombositopeni dan gagal ginjal akut. Pada fase akut merupakan penyakit yang serius dan memerlukan penanganan yang intensif guna mencegah penderita terhindar dari bahaya kematian atau kerusakan fungsi ginjal.

SHU biasanya berhubungan dengan epidemi dan penyakit gastroenteritis (GE) diare berdarah yang disebabkan oleh Shigella dysentriae sebagai penghasil toksin shiga dan E.coli terutama yang tergolong jenis STEC, VTEC atau EHEC yang dapat menghasilkan verotoksin atau shiga-like toksin. Di Amerika serikat sendiri, E.coli 0157:H7 adalah penghasil shiga-like toksin yang paling dikenal, bahkan paling penting sebagai penyebab SHU.

Organisme tersebut hidup dalam usus hewan ternak tanpa menimbulkan gejala. Penularan antara manusia terjadi secara fekal – oral bila menyantap daging yang tidak dimasak, air minum, buah buahan dan sayuran yang terkontaminasi, susu yang tidak dipasteurisasi. Dalam saluran cerna toksin bakteri menghancurkan usus dan menghasilkan diare lendir darah. Toksin dapat menyebar melalui pembuluh darah dan menyerang ginjal sehingga menyebabkan kerusakan pada glomerulus dan menyebabkan gagal ginjal akut.

II. EPIDEMIOLOGI
SHU ditemukan di banyak negara, SHU dengan diare biasanya menyerang anak di bawah usia lima tahun dengan insidensi yang sama pada kedua jenis kelamin dan semua ras. Di Argentina, ditemukan kejadian SHU sekitar 30 kasus per 100.000 anak, sedang di Amerika Serikat berkisar antara 0,3 – 10 kasus per 100.000 anak. Di Kanada rata rata insiden SHU pada anak di bawah usia 5 tahun adalah 3 per 100.000 anak.

Variasi musim dan pengelompokan geografis juga memegang peranan dalam prevalensi SHU. Prevalensi SHU mencapai puncaknya pada musim panas atau musim gugur. Sedang SHU tanpa diare dapat menyerang anak yang lebih besar, tanpa ada hubungan dengan musim atau epidemi diare di negara tersebut.

Di Indonesia sendiri penyakit gastroenteritis akut dengan diare tanpa atau darah merupakan penyakit infeksi yang biasa dijumpai pada anak anak dan merupakan masalah penting di masyarakat karena berhubungan dengan kurangnya kebersihan dalam lingkungan dan penyediaan makanan. Sehingga penularan pada manusia melalui kontak fekal – oral mudah terjadi.

III. KLASIFIKASI
SHU berdasarkan etiologinya diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok : 1. SHU Klasik (SHU D+)
Pada jenis ini terdapat fase prodromal gastroenteritis akut dengan diare tanpa atau berdarah. Merupakan bentuk SHU yang paling sering dijumpai dan hampir 90 % SHU didahului dengan fase prodromal gastroenteritis akut. SHU D+ berkaitan dengan infeksi Shigella dysentriae yang menghasilkan toksin shiga atau E.coli serotype O157:H7 jenis STEC, VTEC atau EHEC yang menghasilkan verotoksin atau shiga – like toksin. Jenis ini biasanya mempunyai prognosis yang cukup baik dengan perbaikan fungsi ginjal dan biasanya jarang terjadi relaps.

2. SHU Atipikal (SHU D-)
Pada jenis ini tidak terdapat fase prodromal gastroenteritis akut dan dapat menyerang anak yang lebih besar, jenis ini jarang terjadi dan mempunyai pronosis yang lebih jelek. Beberapa etiologi yang berkaitan dengan SHU ada di bawah ini :

Etiologi SHU : Etiologi SHU D+ :
• Tipikal : E. Coli O157:H7 (penghasil VT-1, VT-2)
• Shigella dysentriae (penghasil toksin shiga)
• Agen infeksi lain penyebab diare (Tabel II)
• Idiopatik

Etiologi SHU D- :
• Infeksi Streptokokus pneumoniae
• Agen infeksi lain :
• Faktor keturunan :
? Autosomal dominan
? Autosomal resesif
• Kehamilan
• Obat : Cyclosporin A, kontrasepsi oral, kemoterapi, mitomycin
• Post transplantasi
• Keganasan
• Idiopatik

Agen infeksi lain :
• Salmonella typhii• Campylobacter jejuni
• Yersinia sp• Pseudomonas sp
• Portillo, virus Coxsachie, virus Influenza, virus Epstein Barr, Rota virus, HIV• Aeromonas hydrophila, Microtabiotes

IV. PATOFISIOLOGI
Dalam saluran cerna toksin bakteri menghancurkan sel usus dan menyebabkan diare lendir darah. Toksin kemudian menyebar melalui pembuluh darah dan menyerang endotel glomerulus ginjal sehingga terjadi penumpukan fibrin dan trombosit di tempat kerusakan. Kapiler glomerulus menjadi sempit mengakibatkan sel darah merah yang melewati kapiler glomerulus menjadi lisis dan rusak sehinga terjadi anemia hemolitik mikroangiopati dan penurunan laju filtrasi glomerulus serta insufisiensi ginjal. (Gambar 1)


Gambar I. Patofisologi SHU :
A. Kapiler glomerulus normal yang dilapisi sel endotel
B. Gambaran sel endotel normal yang terdiri dari kutub negatif dan PGI2 dalam jumlah normal di endotel sehingga trombosit yang bersirkulasi di lumen kapiler tidak menempel ke endotel.
C. Setelah kerusakan endotel terjadi, sel menjadi bengkak dan terjadi kehilangan kutub negatif serta PGI2, menyebabkan penempelan trombosit dan fibrin ke dinding endotel serta terjadi pemisahan sel endotel dari dinding pembuluh darah
D. Akibat penyempitan kapiler glomerulus oleh penumpukan fibrin dan trombus, maka eritrosit yang melewati kapiler menjadi lisis dan rusak dan terjadi anemia hemolitik mikroangiopati, penurunan laju filtrasi glomerulus, insufisiensi ginjal dan trombositopeni.

Beberapa serotype E. Coli yang berhubungan dengan SHU telah dapat diidentifikasi. Karmali et al menemukan toksin E. Coli pada 75% pasien dengan SHU. Toksin dari E.coli ini menyebabkan kematian terhadap sel Vero yaitu sel epitel ginjal monyet hijau sehingga kemudian dinamai sebagai verotoksin. Salah satu dari verotoksin ini (VT-1) secara struktural identik dengan toksin shiga yang dihasilkan oleh Shigella dysentriae dan jenis toksin lain VT-2 mempunyai 55% – 60% asam amino yang mirip dengan toksin shiga. Verotoksin yang dihasilkan oleh E.coli O157:H7 juga menyebabkan diare berdarah.

Verotoksin terdiri dari sub unit sentral (A) dan lima sub unit perifer (B). Sub unit perifer (B) membawa reseptor glikoprotein permukaan sel. Ketika verotoksin berikatan dengan permukaan sel, terbentuk endositosis dan subunit sentral (A) dilepaskan ke dalam sitosol, yang kemudian larut dalam bentuk fragmen (A1). Sub unit A1 berikatan dengan ribosom 60S, menghambat transkripsi RNA sehingga menyebabkan kematian sel.(Gambar 2).

Gambar 2. Verotoksin sub unit B melekat di permukaan sel dan verotoksin masuk ke dalam sel melalui endositosis . Sub unit A kemudian dilepaskan ke dalam sel dan terpecah menjadi fragmen A1. Sub unit A1 berikatan dengan ribosom 60S menghambat transkripsi RNA dan mengganggu pembentukan sintesis protein menyebabkan kematian sel.

Berdasarkan patofisologi ini, hipotesis perkembangan SHU klasik dapat disusun sebagai berikut :
1. Infeksi verotoksin dari E. Coli menghasilkan diare berdarah2. Penyebaran toksin melalui pembuluh darah dan perlekatan verotoksin ke endotel sel glomerulus
3. Pembentukan endositosis dan pelepasan fragmen sub unit sentral dari verotoksin mengakibatkan gangguan sintesis protein sehingga menyebabkan kematian dan kerusakan sel endotel
4. Penempelan fibrin dan mikrotrombus ke sel endotel yang rusak menghasilkan koagulasi intravaskular lokal dan mikroangiopati
5. Penyempitan kapiler glomerulus oleh trombus dan fibrin menyebabkan lisis dan kerusakan sel darah merah yang melewati kapiler. Sehingga menyebabkan anemia hemolitik mikroangiopati, penurunan laju filtrasi glomerulus dan insufisiensi renal.

V. HISTOPATOLOGI
Tempat utama di ginjal yang menunjukkan perubahan patologik pada fase akut SHU adalah kapiler glomerulus, arteriol dan arteri interlobular. Kerusakan glomerulus pada pasien SHU bervariasi mulai dari ringan sampai sedang dengan sumbatan dan lisis dari struktur glomerulus. Temuan yang khas secara mikroskopis meliputi edema, degenerasi dan destruksi endotel glomerulus, penebalan dinding kapiler glomerulus, intra lumen yang terisi tumpukan trombosit, fibrin dan fragmen sel darah merah. (Gambar 4,5)

Gambar 4. Pewarnaan HE : penebalan difus dinding kapiler glomerulus dan pembengkakan sel endotel. Penumpukan fibrin dan trombus serta sel darah merah tampak di lumen (anak panah)
Gambar 5.
Pewarnaan PAS : menunjukkan penebalan difus dinding kapiler glomerulus
dan pembengkakan sel endotel
VI. GAMBARAN KLINIS
Bentuk klasik SHU pada bayi atau anak biasanya didahului oleh masa prodromal muntah dan diare, dengan atau tanpa darah. Biasanya dapat disertai nyeri abdomen atau kram hebat sehingga sering didiagnosis sebagai kolitis atau kegawatan abdomen. Fase prodromal biasanya berlangsung 4 sampai 15 hari dengan rata rata 7 hari, kemudian muncul trias SHU.

Ketika gejala SHU muncul, anak tampak pucat, ikterik kadang dapa timbul kejang atau penurunan kesadaran. Edema, oligouria, hipertensi, kongesti vaskular dapat dijumpai oleh karena beratnya proses penyakit atau kelebihan cairan akibat kurangnya pengawasan terhadap balans cairan sedang anak biasanya menderita oligouria.

Hepar dan limpa dapat teraba membesar. Pada kulit dapat dijumpai petekiae dan purpura. Perdarahan kulit berupa hematom dan ekimosis sering juga dijumpai di tempat bekas suntikan.

Hemolisis dengan fragmentasi sel darah merah ditemukan pada pasien SHU, pemeriksaan darah tepi perlu dilakukan untuk melihat adanya proses mikroangiopati. Gambaran darah tepi pada pasien dengan SHU dijumpai schystocytes, sel helmet dan sel burr. Hemolisis dapat cepat terjadi ditandai oleh menurunnya kadar hemoglobin dan hematokrit secara drastis. Trombositopenia dibawah 40.000/mm3 biasanya berlangsung sekitar 7 – 14 hari disusul dengan munculnya gejala klinis berupa petekiae, purpura dan hematom di tempat bekas suntikan. Meningkatnya nilai trombosit menunjukkan pemulihan proses mikroangiopati.

Gagal ginjal akut dengan peningkatan serum urea nitrogen dan kreatinin serta penurunan jumlah urin muncul seiring dengan terjadinya proses hemolisis dan anemia, derajat insufisiensi ginjal bervariasi secara luas. Penyulit yang berhubungan dengan gagal ginjal akut adalah gangguan elektrolit, hipertensi, edema, kongesti vaskular, asidosis metabolik dan hiperurisemia.
Gangguan sistem saraf pusat dapat terjadi berupa iritabilitas, letargi, kejang atau koma. Keterlibatan SSP disebabkan proses multifaktorial dan berhubungan dengan mikroangiopati yang terjadi di pembuluh darah otak. Dimana terjadi pembentukan fibrin dan mikrotrombus yang menyebabkan iskemi serebral. Keterlibatan SSP lebih sering terjadi pada Atipikal SHU (SHU D- ).

Gejala klinis SHU
Masa prodromal diare
• Antara 4 – 15 hari
• Dengan atau tanpa darah
• Dapat disertai nyeri perut

Anemia
• Muncul setelah fase prodromal diare mulai hilang
• Berhubungan dengan penurunan hematokrit dan trombosit

Insufisiensi renal
• Oligouria dapat muncul selama 4 – 12 hari
• Sering terjadi edema, hipertensi dan edema pulmo bila balans cairan tidak dilakukan

Pemulihan
• Peningkatan angka trombosit• Peningkatan urin output
• Peningkatan hematokrit

VII. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan kadar hemoglobin menurun berkisar antara 3 -10 gram% dan terdapat gambaran anemia hemolitik mikroangiopati (Coombs test negatif), Gambaran apusan darah tepi menunjukkan bentuk abnormal dari sel eritrosit berupa schystocytes, fragmentosit, sel topi, tear drops, burr sel (Gambar 6). Jumlah leukosit dapat meningkat sampai 20.000/ mm3. Jumlah retikulosit dapat normal atau meningkat, jumlah trombosit menurun berkisar antara 20.000 – 100.000/ mm3. Pada beberapa pasien nilai PT / PTT biasanya normal dan terdapat peningkatan FDP

Gambar 6. Gambaran darah tepi terdapat: schystocytes / sel helmet dan trombositopeni

Kadar elektrolit bervariasi, biasanya kadar kalium rendah oleh karena adanya kehilangan melalui gastrointestinal yang mengikuti prodromal diare. Tetapi bisa juga meningkat oleh karena adanya penurunan laju filtrasi glomerulus dan gejala gagal ginjal akut. Kadar natrium, kalsium, bikarbonat dan albumin serum dapat rendah. Kadar trigliserida, kolesterol dan fosfolipid dapat meningkat, tetapi patogenesisnya belum diketahui. Kelainan kimia darah yang sering dijumpai adalah peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum. Peningkatan kedua kadar ini dapat dimungkinkan oleh adanya gagal ginjal akut intrinsik atau hipovolemi yang mengikuti prodromal diare.

Pada pemeriksaan urin dijumpai oligouria, hematuria dan proteinuria ringan sampai sedang. Secara mikroskopis urin dijumpai adanya dismorfik sel darah merah dan adanya cast (seluler, granular, hyaline)

Kultur feses perlu dilakukan pada setiap penderita dengan diare berdarah untuk mencari penyebabnya. Biasanya kultur untuk E.coli O157:H7 ditumbuhkan dalam media agar Mac Conkey Sorbitol.

Pemeriksaan Laboratorium SHU
Hematologi

• Trombositopenia
• Anemia hemolitik (coombs test negatif)

• Leukosit meningkat
• Retikulosit normal atau meningkat

• PT/PPT biasanya normal

• FDP biasanya menurun

Kimia darah
• Peningkatan BUN

• Peningkatan creatinin

• Hipokalemi, Hiponatremi, Hiperurisemia
• Penurunan serum protein

• Peningkatan fungsi hati

• Peningkatan asam urat

Urine
• Proteinuria
• Hematuria

• Leukosit esterase positif
• Bilirubin positif
• Dijumpai cast atau granul

VIII. PENANGANAN
Semua penderita SHU sebaiknya dirawat di rumah sakit. Pengobatan lazimnya bersifat suportif dan ditujukan untuk penaggulangan gagal ginjal akut, penyulit penyulit yang timbul dan gangguan hamatologik yang terjadi.

Pengobatan suportif terdiri dari :
Terapi cairan dan elektrolit

Bayi atau anak dengan SHU sering mengalami dehidrasi oleh karena diare dan muntah. Penderita ini perlu mendapatkan terapi cairan dan elektrolit sesuai protokol yang ada. Jumlah cairan harus diawasi secara ketat untuk menghindari hidrasi. Bila tidak ada tanda dehidrasi jumlah cairan yang diberi, harus dibatasi yaitu IWL + OGL. Jenis cairan tergantung ada tidaknya oligouria, bila penderita mengalami oligouria komposisi cairan yang diberikan adalah larutan glukosa NaCl 3 banding 1, sedang bila penderita dalam keadaan anuria cairan yang diberi hanya Glukosa 10% melalui infus. Balans cairan harus diawasi, balans cairan yang baik bila berat badan turun 0,5 – 1 % / hari.

Koreksi elektrolit secara medis dilakukan bila terdapat gangguan elektrolit seperti hiponatremia, hiperkalemia, hipokalsemia, hiperfosfatemia, hiperurisemia dan asidosis metabolik. Bila gagal, terapi dialisis merupakan indikasi.

Tunjangan Nutrisi
Pemberian kalori yang adekuat dan asam amino esensial diperlukan untuk mengurangi katabolisme protein dan lemak untuk mencegah balans nitrogen negatif. Kebutuhan kalori minimal adalah sebanyak 400 kcl/m2/hari.

Transfusi darah
Bila proses hemolisis masih aktif dan hemoglobin turun dibawah 6 g/dl maka perlu diberikan transfusi PRC, transfusi rombosit dilakukan bila terdapat perdarahan aktif atau trombositopenia berat. Pemberian transfusi plama/ plasmafaresis menunjukkan hasil yang baik pada SHU D- yang berhubungan dengan faktor herediter atau SHU rekuren. Tetapi tidak dianjurkan diberikan untuk SHU paska pneumococcal yang disebabkan oleh neuraminidase sebab plasma normal mengandung antibodi yang menimbulkan terjadinya komplek antigen – antibodi TF yang dapat memperberat hemolisis.

Antibiotika
Diberikan bila SHU berhubungan dengan infeksi streptokokus pneumonia atau nosokomial. Pada SHU D+ yang berhubungan dengan diare, pemberian antibiotika masih kontroversial oleh karena antibiotik tidak mempengaruhi lama gejala dan tidak merubah resiko terhadap SHU. Oleh karena munculnya SHU diperantarai oleh shiga – like toksin, maka pemberian antibiotik tertentu secara teoritis tidak menyebabkan dinding bakteri lisis sehingga toksin yang lepas ke dalam lumen usus meningkat dan merupakan faktor resiko dalam memperberat proses penyakit.

Antikonvulsan
Kejang merupakan salah satu manifestasi gangguan SSP yang dapat dijumpai pada pasien SHU D-. Untuk mengatasinya dapat diberikan obat anti kejang yang lazim digunakan dan perlu dicari faktor resiko lain yang menjadi penyebab kejang seperti gangguan elektrolit serta dilakukan koreksi.

Pemulihan
Perbaikan gejala SHU ditandai dengan membaiknya fungsi ginjal dan gangguan hematologi pada fase akut SHU. Pada kebanyakan kasus LFG menjadi normal kembali antara 7 sampai 13 bulan dan rata rata 3 bulan. Kadar hemoglobin menjadi normal kembai setelah 3 bulan dari saat munculnya penyakit. Trombositopeni dan gangguan faktor pembekuan lain tidak tampak lagi pada masa pemulihan. Gejala sisa yang muncul berhubungan dengan derajat penyakit. Gejala sisa berupa kelainan urinalisis yang menetap., hipertensi persisten, gagal ginjal kronik dan sekuele neurologik.

Penanganan SHU Penegakan Diagnosis
• Pemerikaan klinis yang tepat
• Pemeriksaan laboratorium yang tepat
• Eksklusi penyebab lain

Penanganan Insufisiensi ginjal
• Restriksi cairan (IWL + OGL)
• Balans cairan ketat
• Terapi konservatif
• Hemodialisa bila perlu

Penganan kelainan Hematologi
• Pertahankan Hb > 8 g/dl
• Transfusi PRC atau trombosit bila perlu
• Transfusi plasma / plasmafaresis pada SHU D- yang berhubungan dengan faktor herediter.
Penanganan nutrisi
• Pemberian kalori yang adekuat

IX. PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis SHU baik dan mortalitas pada fase akut turun secara drastis dari 34% pada dekade terakhir menjadi 2,5% pada tiga dekade terakhir. Hal ini disebabkan oleh fasilitas pengobatan yang lebih baik dan fasilitas ICU yang memadai. Prognosis SHU akan lebih buruk pada beberapa keadaan tertentu

Kematian pada fase akut biasanya berhubungan dengan gangguan metabolik yang terkait dengan gagal ginjal akut, hipertensi berat, miokarditis dan gangguan sistem saraf pusat. Angka kematian lebih tinggi terjadi pada SHU Atipikal.

Prognosis SHU buruk pada :
• SHU D- (Atipikal SHU)
• Usia
5 tahun
• Anuria persisten
• Hipertensi berat
• Kelainan SSP (koma, kejang, hemiparesis/ stroke)
• Leukositosis > 20.000/mm3

X. DAFTAR PUSTAKA
1. Fiorini K Elizabeth, Raffaeli M Ryan, Hemolytic Uremic Syndrome. Pediarics in Review 2006; 27; 398 – 99.
2. Bahrun Dahler, Sindrom Hemolitik Uremik. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta, 2002
3. Kaplan BS, The Hemolytic Uremic Syndrome. Journal Pediatric Clinical North America 1976; 23; 761 – 77.
4. Palmar S Malvinder, Hemolytic Uremic Syndrome dalam http:// http://www.emedicine.com / med/ topic980.html
5. Remuzzi G, Noris Marina. Hemolytic Uremic Syndrome; J American Society of Nephrology. Journal America Social Nephrology 2005; 16; 1035-1050.
6. Stewart C, Leticia U, Hemolytic Uremic Syndrome. Pediatrics in Review 1993; 14; 218 – 24.