Waspadai Jajanan Anak Sekolah
Waspadai Jajanan Anak Sekolah
Pangan jajanan memegang peranan yang cukup penting dalam memberikan asupan energi dan gizi bagi anak–anak usia sekolah. Hasil survei yang dilakukan di Bogor pada tahun 2004 menyatakan sebanyak 36% kebutuhan energi anak sekolah diperoleh dari pangan jajanan yang dikonsumsinya (Guhardja S dkk, 2004).
Akan tetapi, tingkat keamanan pangan jajanan memprihatinkan. Penyalahgunaan bahan kimia berbahaya seperti formalin dan rhodamin B oleh produsen pangan jajanan adalah salah satu contoh rendahnya tingkat pengetahuan produsen mengenai keamanan pangan jajanan. Ketidaktahuan produsen mengenai penyalahgunaan tersebut dan praktek higiene yang masih rendah merupakan faktor utama penyebab masalah keamanan pangan jajanan. Kondisi seperti ini dapat mengakibatkan penyakit akibat pangan pada anak–anak baik secara akut maupun kronis.
Berdasarkan data Kejadian Luar Biasa (KLB) pada JAS tahun 2004-2006, kelompok siswa sekolah dasar (SD) paling sering mengalami keracunan pangan.
Coba kita perhatikan, ada berapa macam jenis jajanan yang sering dikonsumsi oleh anak-anak sekolah? Jajanan anak sekolah dasar biasanya lontong, otak-otak, tahu goreng, mie bakso dengan saus, es sirop, sate sosis dengan saus, empek-empek dan lain sejenisnya. Selain kontaminasi mikrobiologis, kontaminasi kimiawi yang umum ditemukan pada makanan jajanan kaki lima adalah penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) ilegal seperti boraks (mengandung logam berat Boron), formalin (pengawet mayat), rhodamin B ( pewarna merah pada tekstil), dan methanil yellow (pewarna kuning pada tekstil). Bahan-bahan ini terakumulasi pada tubuh manusia dan bersifat karsinogenik yang dalam jangka panjang menyebabkan penyakit-penyakit antara lain kanker dan tumor pada organ tubuh manusia.
Belakangan juga terungkap bahwa dampak makanan tertentu ternyata mempengaruhi fungsi otak termasuk gangguan perilaku pada anak sekolah. Gangguan perilaku tersebut meliputi gangguan tidur, gangguan konsentrasi, gangguan emosi, gangguan bicara, hiperaktif hingga memperberat gejala pada penderita autis.
Pengaruh jangka pendek penggunaan BTP ini menimbulkan gelaja-gejala yang sangat umum seperti pusing, mual, muntah, diare atau kesulitan buang air besar. Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA) dari WHO yang mengatur dan mengevaluasi standar BTP melarang penggunaan bahan kimia tersebut pada makanan. Standar ini juga diadopsi oleh Badan POM dan Departemen Kesehatan RI melalui Peraturan Menkes Nomor 722/Menkes/Per/IX/1998.
Apa yang bisa dilakukan ?
Peran serta guru:
1. Guru berperan dalam mengawasi kantin sekolah melalui kegiatan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), yaitu mengawasi pangan apa yang dijual, kebersihan kantin, serta memberikan pelatihan bagi petugas kantin.
2. Guru berperan dalam memberikan pengertian dan pengetahuan kepada anak–anak mengenai dampak negatif yang timbul apabila jajan di sembarang tempat.
Peran serta orang tua:
1. Orang tua berperan dalam memberikan pengetahuan dasar kepada anak–anak mengenai dampak negatif atau akibat yang timbul apabila jajan disembarang tempat.
2. Orang tua sebaiknya membekali anak–anaknya dengan makanan rumah yang aman dan layak ketika akan berangkat sekolah, agar tidak jajan sembarangan.
Peran serta penjual pangan:
1. Penjual hanya boleh menggunakan BTP yang diijinkan dan tidak melebihi batas maksimum yang dipersyaratkan, serta tidak boleh menggunakan pewarna ataupun bahan berbahaya yang dilarang penggunaannya pada pangan.
2. Penjual wajib memperhatikan kebersihan fasilitas dan tempat penjualan untuk mencegah kontaminasi silang terhadap produk, serta mempraktekkan cara pengolahan pangan yang baik terutama memperhatikan persyaratan higiene dan sanitasi.
Sekolah dan pemerintah juga perlu menggiatkan kembali UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) dan memanfaatkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk memperbaiki atau meningkatkan kualitas kantin sekolah.Upaya ini dilakukan agar keberadaan jajanan di kantin sekolah layak dikonsumsi siswa.
Adanya koordinasi antara pihak sekolah, persatuan orang tua murid dibawah konsultasi dokter sekolah atau Pusat Kesehatan Masyarakat setempat sehingga dapat menyajikan makanan ringan pada waktu istirahat sekolah yang bisa diatur porsi dan nilai gizinya.Upaya ini tentunya akan lebih murah dibanding anak jajan diluar disekolah yang tidak ada jaminan gizi dan kebersihannya.
Sumber :
Foodwatch BPOM, WHO : Jajanan Anak Sekolah
Depkes RI Bina Gizi dan KIA http://www.gizikia.depkes.go.id/archives/837,
0 Komentar