MEMAHAMI SUNAT PEREMPUAN
MENJAMIN KEAMANAN DAN KESELAMATAN SUNAT PEREMPUAN
Sunat perempuan sendiri telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 1636/MENKES/PER/2010. Bila tidak diatur, dikawatirkan sunat perempuan yang sudah menjadi tradisi sebagian masyarakat secara turun temurun itu justru dapat membahayakan kesehatan perempuan.
Permenkes, mengatur agar khitan dilakukan dengan benar dan hanya oleh tenaga kesehatan tertentu untuk menjamin keamanan dan keselamatan perempuan sesuai ketentuan agama, standar pelayanan dan standar profesi.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), tidak setuju pelarangan sama sekali sunat perempuan, seperti yang pernah ditetapkan pemerintah tahun 2007 sehingga akhirnya dikeluarkan perangkat peraturan yang mencegah pendarahan atau infeksi tersebut. MUI sendiri telah mengeluarkan Fatwa Nomor 9.A tahun 2008 yang intinya khitan perempuan adalah makrumah, yaitu salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan.
Permenkes No.1636/2010 menyebutkan bahwa Sunat perempuan dapat dilakukan hanya atas permintaan dan atau persetujuan dari orang tua anak perempuan atau wali. Jadi dalam Permenkes No.1636/2010 tersebut tidak mengharuskan perempuan untuk disunat, tetapi apabila ada perempuan yang ingin disunat maka Permenkes tersebut dapat digunakan sebagai standar operating precedure (SOP) atau acuan oleh tenaga kesehatan
Definisi : Sunat perempuan adalah tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukai klitoris
Sunat perempuan hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu yaitu : Dokter, bidan atau perawat yang telah memiliki ijin praktik, atau surat izin kerja dan diutamakan petugas medis perempuan.
Dalam melaksanakan sunat perempuan, tenaga kesehatan harus mengikuti standar prosedur tindakan antara lain :
- Mencuci tangan dengan sabun
- Menggunakan sarung tangan
- Melakukan goresan pada kulit yang menutupi bagian depan klitoris (frenulum klitoris) dengan menggunakan ujung jarum steril sekali pakai dari sisi mukosa ke arah kulit dan
- Tanpa melukai klitoris
Jadi sunat perempuan yang diatur dalam Permenkes tersebut BUKAN mutilasi genital perempuan (female genital multilation = FGM) menurut klasifikasi WHO
Menurut WHO, ada empat tipe FGM, yaitu ;
- Pemotongan “prepuce” dengan atau tanpa mengiris/menggores bagian atau seluruh klitoris.
- Pemotongan klitoris dengan disertai pemotongan sebagian atau seluruh labia minora.
- Pemotongan bagian atau seluruh alat kelamin luar disertai penjahitan/penyempitan lubang vagina.
- Tidak terklarifikasi, termasuk penusukan, pelubangan atau pengirisan/penggoresan terhadap klitoris dan atau labia.
Dalam Permenkes no 1636/2010 disebutkan bahwa, tidak dibolehkan hal hal sebagai berikut ;
- Sunat tidak boleh dilakukan pada perempuan yang sedang menderita infeksi genitalia eksterna atau infeksi umum.
- Larangan menggunakan cara mengkauterisasi klitoris; memotong atau merusak klitoris baik sebagian maupun seluruhnya dan memotong atau merusak labia minora, labia majora, hymen atau selaput dara dan vagina baik sebagian maupun seluruhnya.
Dalam menyusun Permenkes, telah dilakukan berbagai pembahasan dan masukan dari berbagai pihak seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kementerian Agama, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) dan lain-lain. Pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota dengan melibatkan organisasi profesi seusia dengan tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing.
Pembinaan dan pengawasan diarahkan untuk menjamin hak dan melindungi keselamatan pasien yang disunat oleh tenaga kesehatan. Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, menteri, kepala dinas kesehatan provinsi, kabupaten/kota dapat mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
sumber : Depkes, WHO, MUI
0 Komentar