Mengapa Ke Luar Negeri?

Oleh Renald Khasali

Saya sering bertanya kepada orang-orang kaya Indonesia, mengapa berobat ke luar negeri. Jawabannya, “dokter-dokter di luar lebih serius”.
Seorang presiden direktur sebuah BUMN besar yang saya temui seminggu lalu mengaku kecewa dengan dokternya di sini karena saat kakinya terasa lemas, dokter cuma tertawa-tawa saja. “Gampang, kasih obat nanti sembuh”, ujarnya sambil menulis resep. Ternyata beberapa hari kemudian ia tidak membaik, malah memburuk dan nyaris tak bisa berjalan. Atas saran seorang praktisi kesehatan, ia pun terbang ke negeri tetangga. Ternyata di sana hari itu juga ia harus langsung opname. Ginjalnya bermasalah. Ia pun dirawat selama sebulan. Dokter yang memeriksa terheran-heran, “Mengapa baru sekarang berobat?”. Meski telah sembuh, berat badannya susut separuh.
Lain cerita juga banyak beredar di surat-surat pembaca. Semakin hari jumlahnya semakin banyak. Salah satu surat pembaca datang dari seorang pasien di Harian Kompas (21 September 2010) yang meminta agar dokter-dokter kita jangan takut bersaing. Masalahnya, pada tahun 1999 ia pernah didiagnosa dokter di Medan, ia menderita syaraf terjepit di tulang belakang. Berkali-kali ia ke dokter di sini tetapi keluhannya tidak berhasil diatasi. Ternyata setelah ke negeri tetangga, dengan mudah dokter menemukan penyakit yang sebenarnya yaitu TBC tulang. Sekali treatment, ia mengaku langsung sembuh.
Tentu ada banyak cerita tentang dokter-dokter hebat yang diagnosanya tidak seburuk cerita-cerita di atas. Saya juga banyak menemui dokter-dokter pintar Indonesia. Apakah itu penyakit kulit, gigi, mata maupun perut. Tetapi harus diakui juga saat ini mulai banyak beredar lulusan-lulusan Fakultas Kedokteran yang mungkin perlu diteliti kembali kualitas keahliannya.
Dr. Ratna Sitompul, dekan FKUI menyebutkan, banyak universitas yang asal membuka Fakultas Kedokteran. Selain jumlah pengajarnya terbatas, uang kuliahnya terlalu rendah. Di FKUI, menurutnya, biaya untuk mendidik seorang calon dokter berkisar Rp. 50 juta/semester. Sedangkan rata-rata mahasiswa hanya membayar SPP Rp. 7,5 juta. Namun FKUI beruntung karena jumlah pengajar yang berkualitas dan mendedikasikan dirinya mengajar dengan “upah” seadanya masih banyak.
Tak dapat saya bayangkan bagaimana dengan fakultas-fakultas kedokteran lain yang harus hidup mandiri. Ibaratnya, untuk membedah mayat saja mereka harus membayar mahal, sementara di RSCM, setiap hari FKUI mendapat “hibah” jenazah orang-orang tak dikenal yang dapat dijadikan sumber pengetahuan. Di fakultas-fakultas lain, minimnya biaya studi sudah banyak dikeluhkan para pengelola kampus. Namun entah bagaimana, kampus-kampus itu kok bias berkembang pesat dan makin kinclong. Katanya tarif uang kuliah kerendahan, tetapi kok untungnya tetap menggiurkan. Apa sebab?
Saya katakan, biaya studi mau ditawarkan satu juta, lima, sepuluh atau lima puluh juta rupiah, ya bisa saja. Di luar negeri, uang kuliah per semester sudah berkisar antara USD 7,500 hingga USD 15,000 per semester. Tetapi kalau Anda mencari yang uang kuliahnya hanya USD 1,000 per semester, tetap saja ada. Lantas apa penjelasannya? Penjelasannya adalah harga mencerminkan kualitas. Semakin berkualitas suatu pendidikan, semakin mahal biayanya. Meski bagi sebagian kampus, hal sebaliknya belum tentu benar. Kalau mampu menjual program kedokteran dengan tarif murah, bagi saya itu belum tentu mereka idealis. Jangan-jangan kualitasnya yang diturunkan.

Dokter Gen C
Namun terlepas dari itu semua ada satu tantangan baru yaitu munculnya Gen C yang saya bahas minggu lalu. C berarti Connected, Co-creation, Creative dan Curiousity. Inilah generasi yang terhubung satu dengan yang lain.
Asumsi kita selama ini dokter adalah ahli dan cerdas. Sedangkan pasiennya, secara medis, bodoh. Dokter menunggu di ruang prakteknya dan pasien-pasien itu terisolasi satu dengan lainnya. Masalahnya, sekarang asumsi itu sudah tidak valid. Pasien terhubung dan melakukan sharing. Situs-situs lokal mempertemukan pasien-pasien berbagi pengalaman. Di luar negeri situs PatientsLikeMe.com sangat digemari dan pasien bebas berkonsultasi free of charge. Di situs Video Youtube Anda juga bisa menemukan berbagai advice dari dokter-dokter terkenal secara visual. Ada Dr. Vincent Bellonzi yang mengingatkan, agar jangan menyerahkan tubuh kita 100% pada dokter saja. Konsultasikanlah resep pada apoteker. Begitu nasehat dokter senior yang terkenal itu. Nah menjadi masalah kini, asumsi-asumsi lama sudah tidak valid lagi. Pasien jelas telah berubah menjadi lebih berpengetahuan. Mereka bukan menjadi sok tahu, tetapi memang menjadi lebih tahu. Mereka juga curious atau ingin lebih tahu lagi. Apa jadinya kalau dokternya masih memegang asumsi lama, tertutup dan malas membaca perkembangan baru, menutup kritik pasien dan hanya mengandalkan informasi dari detailman obat atau konferensi internasional? Dokter tentu harus berubah, menjadi lebih tahu dan membagi waktu antara praktek dan belajar lagi. Dan yang lebih penting adalah merubah pendekatan agar lebih komunikatif. Inilah yang saya sebut sebagai daya saing, yaitu lebih produktif dalam menghadapi persaingan. Otherwise, semua pasien kelas atas akan lari ke dokter-dokter asing, sementara pasien miskin semakin terpuruk kesehatannya.

Dirgahayu IDI, semoga dokter-dokter Indonesia menjadi lebih hebat.

Sumber : Seputar Indonesia