Bila Kesehatan diPolitisasi
Akhir akhir ini, banyak beredar di media massa berbagai tudingan, tuduhan, sorotan terhadap Dokter dan paramedis. Tak tanggung tanggung datangnya malahan ada yang dari teman sejawat sendiri (pernyataan dr Ribka, anggota Komisi IX DPR RI dalam Dokter dianggap lebih jahat dari Polantas) dan dari salah satu penguasa (komen Ahok tentang para dokter di : Ahok dan Ciptaning Pembunuhan Karakter Dokter Indonesia)
We lhaa... kayak gini ini yang saya sebut Politisasi Kesehatan (bukan politik kesehatan). Karena sebenarnya, politik kesehatan itu memang ada, dengan definisi yang sangat baik yaitu : Ilmu dan seni memperjuangkan derajat kesehatan masyarakat dalam satu wilayah melalui sebuah sistem ketatanegaraan. Untuk meraih tujuan tersebut diperlukan kekuasaan. Kekuasaan tersebut kelak digunakan untuk mendapat kewenangan yang diperlukan untuk mencapai cita-cita dan tujuan. Oleh karena kesehatan adalah bagian dari politik, maka seyogianya tidak dijadikan sebagai kendaraan politik para calon atau kandidat kepala daerah. (Bambra et all, 2005). Sehingga yang terjadi adalah politisasi kesehatan, politik pencitraan, dengan kendaraan politiknya yaitu pelayanan kesehatan serta kambing hitam yang kena sasaran "tembak" adalah dokter serta paramedis... Gubraak deh...
Terus terang saja, sejak isu ini beredar di media, saya rada males kalau mau bikin tulisan yang isinya ikutan komen atau ngeramein perang media untuk membela golongan saya (dokter dan paramedis). Soalnya saya tetap yakin dan percaya kok, yang namanya berlian ya tetap berlian, walau mereka bilang dokter itu tukang "tilang" orang sakit atau ngambil keuntungan dari pasien kelas tiga. Tapi pada kenyataannya, monggo diCek n ricek saja sendiri. Dari jaman koas, saya udah ngerasain yang namanya kerja 24 jam ndak pake dibayar selama 2 tahun, itu ya cuma di sekolah Kedokteran. Lha iya tho, mana ada sarjana strata satu bidang lain yang begitu.... Lanjut lagi, sewaktu sedang mengambil pendidikan dokter spesialis (ini sudah jadi bu Dokter lho ceritanya) Eh, lha nasibnya ya sama saja, sementara negara lain, kok bisa ndak seperti itu sistemnya....Dan menurut saya, PPDS itu bukan dokter praktek lho. Walaupun belum spesialis, tetapi skill atau kemampuan mereka tetep ada "plus plusnya" dibanding dokter umum biasa. Jadi ndak wajar kalau ndak ada penghargaan buat dirinya dan keluarganya (secara Dokter kan juga manusia). Lanjut lagi, setelah jadi Spesialis, jangan salah, bukan berarti langsung nilang, atau ambil untung sana sini. Sering banget buat pasien pasien yang memakai asuransi tertentu, terutama yang sistem paket, jasmed dokternya tidak dibayar atau dibayar tapi dihutang dulu selama beberapa bulan. Atau berdasarkan keikhlasan dari Dokter dan RS sendiri, untuk pasien yang memang tidak mampu tapi tidak punya asuransi kesehatan apapun, maka jasa medisnya di bebaskan. Dan masih banyak story lain tentang dokter yang mengabdi di daerah terpencil yang lebih luar biasa lagi.
So, postingan ini bukan soal Ribka-Ahok, bukan soal harga diri dokter, bukan soal isu program kesehatan di Jakarta Raya, namun yang saya garis bawahi dalam tujuan posting ini adalah, adanya benang merah yang sama, bahwa seringkali Pelayanan kesehatan itu dijadikan kendaraan politik, sebagai alat pencitraan dan sebagai media iming iming atau janji janji surga alias JJS kampanye calon pemimpin. Sepertinya mereka memang menjanjikan pelayanan kesehatan gratis, pelayanan kesehatan bagi rakyat tidak mampu dll, tapi pahamkah mereka sebenarnya bagaimana pelayanan kesehatan itu sesungguhnya?? Apa saja komponen yang diperlukan untuk menjadikan suatu pelayanan kesehatan yang berkualitas??
Komponen mutu pelayanan kesehatan sendiri menurut Komisi Pendidikan Administrasi Kesehatan Amerika Serikat tidak hanya bergantung dari labour resources (sumber tenaga kerja ahli/tidak) tetapi juga meliputi capital resources(sumber modal) seperti keberadaan sarana prasarana kesehatan, bangunan dan RS kemudian procedures (tatacara) bagaimana kemajuan ilmu dan teknologi kesehatan yang dimiliki dan yang diterapkan. Serta tak kalah pentingnya yaitu capacity (kesanggupan) keadaan fisik, mental dan biologis dari tenaga pelaksana.
Sehingga tentunya adalah suatu omong kosong apabila suatu produk yang di janjikan, kemudian dieksekusi untuk diluncurkan, tanpa adanya pembangunan komponen komponennya secara berkesinambungan. Seperti bagaimana jumlah tenaga ahlinya (labor), bagaimana ketersediaan alat dan prasarananya (capital resources) kemudian bagaimana menjaga ilmu para ahli selalu update dan didukung dengan teknolgi yang ada (procedures) serta yang tak kalah penting bagaimana kesanggupan fisik, mental, biologis dari pelaksananya?? (capacity)
Saya harapkan, untuk kedepannya jangan sampai ada lagi kejadian, akibat suatu program kesehatan yang imatur, tidak kompeten dan tidak melibatkan ahlinya tetapi telah terlanjur dijanjikan dan dielu elukan pada masa kampanye maka jatuhlah korban dari masyarakat itu sendiri dalam hal ini pasien, dengan kambing hitamnya adalah rekan rekan kita yaitu dokter serta paramedis dengan suatu "headline" di media massa : "Dokter dan perawat judes, Pelayanan RS tidak cepat, Penolakan pasien miskin" dll. Padahal akar masalahnya bukan hanya sebatas hubungan antara dokter-pasien saja, tetapi menyangkut keberadaan suatu sistem pelayanan kesehatan yang tidak kompeten.
Dan terakhir, saya sarankan juga kepada media massa...,mbok ya jangan suka bikin kisruh suasana lah...kalau mau bikin berita heboh dan menjual, itu gampang. Tapi lebih maknyuss lagi bila bisa membantu sosialisasi cara mengurus asuransi kesehatan utk pasien tidak mampu (Download via Dokter Anakku ; Sosialisasi Pengurusan Jamkesmas/da Propinsi Riau), menginformasikan cara menjaga kesehatan yang baik, kemudian beranilah untuk mengurangi jatah tayang iklan rokok di media. Karena pada dasarnya kita semua pasti setuju bahwa menjaga kesehatan itu, lebih murah daripada mengobati. Peace all...XOXO. (dr Vicka Farah Diba)
0 Komentar