Oleh dr Vicka Farah Diba

Saya merasa Insecure dan Paranoid dengan perlindungan hukum di Indonesia. 

Saya tau memang perlindungan dan penegakan hukum di Indonesia, masih kadang "lemah" di berbagai bidang. Dan ternyata semakin terbukti dengan mencuatnya kasus ini. Menurut saya kasus dijebloskannya dr Ayu dkk ke BUI oleh MA, bukanlah menjadi bukti bahwa semua orang setara di hadapan hukum dan siapa saja bisa masuk BUI. Tapi ini justru membuktikan lemahnya perlindungan hukum di Indonesia terhadap hak dokter sebagai bagian dari masyarakat untuk mendapatkan perlindungan hukum dalam menjalankan profesinya. 

Mengapa begitu?? kita ketahui bersama bahwa saat kasus ini terjadi, dr Ayu dkk masih menjadi seorang residen (dokter yg sedang mengambil pendidikan dokter spesialis). Setau saya, seorang residen itu tidak bertanggug jawab sendiri atau maju ke meja eksekusi sendiri untuk mempertanggungjawabkan diagnosis dan keputusan tindakannya saat itu. Karena ada penanggung jawab senior diatas mereka, yaitu dokter spesialis konsultan tempat mereka menjalani masa pendidikan. 

Jadi pertanyaan saya yang pertama ; Adakah perlindungan HUKUM di Indonesia, untuk seorang dokter atau khususnya dalam kasus ini seorang residen dalam mejalankan tugasnya???

Yang kedua, keputusan bersalah MA terhadap dr AYU dkk mengenai TIDAk adanya surat ijin praktek dari dr AYU dkk. 
Nah lho, yang berwenang mengatur dan mengeluarkan surat ijin praktek bagi seorang residen itu siapa ya?? Apa mungkin dr Ayu dkk atau residen lain dimana saja saat ini mereka menjalani pendidikan membuat2 sendiri surat tugas mereka, kalau institusi setempat atau dinas kesehatan setempat tidak mengatur dan mengadakan bagi mereka?? Dan apa benar RS atau Dinas Kesehatan setempat tidak mengeluarkan surat ijin untuk residen ini?? Tentunya ini harus dijawab oleh pihak yang berwenang mengeluarkannya, bukan serta merta hukuman dijatuhkan begitu saja kepada dr Ayu dkk

Yang ketiga, putusan bersalah MA mengenai pilhan prosedur anestesi dan dilakukannya anestesi oleh seorang Penata Anestesi
Nah lho lagi, keputusan pemilihan jenis anestesi dan ada tidak adanya seorang Dokter Spesialis Anestesi, Apakah itu juga merupakan urusan dan tanggung jawab seorang operator operasi??
Bagaimana kalau di daerah tersebut memang benar2 benar tidak ada dokter Anestesi?? Kita tahu sendiri Dokter Anestesi masih langka jumlahnya di Indonesia
Apa kalau tidak ada tenaga medis yang kompeten dan tidak ada alat yang lengkap maka kesalahan serta merta dilimpahkan kepada dokter lagi?? 

Yang keempat, peran sebuah INFORMED CONSENT sebagai kekuatan hukum dan perlindungan dokter melakukan tindakan. 
Setau saya, bila sudah terdapat Informed Consent dalam artian pasien sudah diberi penjelasan mengenai resiko sebuah tindakan atau sebaliknya resiko tidak dilakukan suatu tindakan, yang bisa saja kedua2nya juga berujung pada kematian. Lalu keluarga sudah paham dan sudah menyetujui sebuah tindakan serta menandatangani Informed Consent tersebut, APakah dokter masih bisa dipidana dan dikriminalisasi bila teryata hasil tidak sesuai harapan?? Sampai dimana sebenarnya fungsi sebuah Informed Consent dapat melindungi seorang dokter??

Hal ini menjadi penting saya tanyakan kembali karena ternyata ADA contoh kasus seperti yang terjadi di Manado dimana ; Keluarga dan pengacara menyatakan ada bukti forensik "pemalsuan tanda tangan informed consent" dan tiba2 seluruh keluarga berbalik menyangkal PERNAH diberikan Informed Consent. Tapi tentunya ada SAKSI ketika Informed Consent itu dibuat kan? Bukankah Informed Consent dibuat dan disaksikan oleh keluarga serta dokter dan paramedis yang bertugas saat itu. 

Dan bila memang sudah terdapat Informed Consent dan SAKSI, Apa Masih bisa dokter dikriminalisasi untuk hasil yang tidak sesuai harapan?? 
Bukankah sudah kita sepakati bersama bahwa dokter itu hanya bisa mengupayakan, dan hanya TUHANlah yang bisa menentukan hasilnya

Yang kelima peran MKEK dalam hukum di Indonesia.
Masyarakat bisa saja mengadukan kejadian "malpraktek" dokter sebagai hak mereka berpendapat. Namun tentunya ada badan profesional dan kompeten yang bertugas menyaring serta menganalisa semua keluhan ini secara adil dan berimbang dengan saksi saksi ahli yang mereka miliki. 
Bukan apa apa, karena jujur saja, saya nilai masyarakat awam bahkan mungkin (maaf) hakim juga belum bisa memilah mana yang sebenarnya merupakan Malsistem pelayanan, Komplikasi suatu penyakit, Sekedar ketidakpuasan pribadi atau benar benar suatu Malpraktek. 

Saya terpaksa mengatakan ini, karena terbukti tuntutan bersalah MA ternyata tidak lepas juga dari hal hal teknis dan administratif yang sebenarnya bukan suatu Malpraktek dokter seperti di atas

Bagaimana mungkin sebuah lembaga profesional seperti MKEK yang sudah memilah dan menganalisa kasus lalu memutuskan A, bisa dimentahkan begitu saja oleh MA??

Sungguh saya tidak mengerti lagi mau bicara apa....
Bagaimana kalau berbagai hal hal "naas" ini terjadi pada saya sendiri yang sudah bukan residen dan berdiri sendiri di luar sini?? 
Sungguh saya menjadi Paranoid dan Insecure bekerja di Indonesia

Berikutnya, saya merasa Paranoid dan Insecure terhadap peran Pemerintah dan Media MAssa 
Dinyatakan terlebih dahulu dalam berbagai media massa ttg berbagai malpraktek dokter, dinyatakan adanya penolakan pasien pasien miskin dari sebuah RS, dan akhirnya diberitakan dalam kasus dokter Ayu, pasien harus menggadaikan sejumlah perhiasan sebelum dilakukan operasi. 
Apa ini semua benar?? Sebaiknya dokter dan RS setempat mulai proaktif dalam menggunakan HAK JAWAB terhadap media massa agar masyarakat juga bisa mendapatkan berita yang berimbang dan bukan hanya berita buruk saja yang tersebar. 

Dan bila memang ada kekurangan dari pelayanan kesehatan di Indonesia yang memang belum sepenuhnya sempurna dan memadai di berbagai daerah, 
Saya MOHON bagi para perangkat pemerintah dan penguasa setempat yang sudah berjanji seribu janji manis tentang perbaikan pelayanan kesehatan, TEPATILAH JANJIMU. 

STOP segala bentuk politisasi Kesehatan, Mulai Kerja nyata, Naikkan Anggaran Kesehatan yang cuma 1% dari APBN ituuuu.....

Pajak MOBIL MURAH bisa Anda turunkan, kenapa pajak obat dan vaksinasi tidak?? 
Sudah 6 presiden Indonesia berganti, Ilmu pengetahuan kedokteran semakin maju, vaksinasi untuk pencegahan penyakit sudah semakin banyak yang ditemukan dan bisa dibuat, kenapa vaksinasi yang disubsidi hanya itu itu saja?? 

Dan janganlah Anda Dewan terhormat yang malah sedikit sedikit sakit saja sudah berobat ke luar negerti, Harusnya Andalah yang pertama kali merasakan bagaimana kualitas dan fasilitas pelayanan kesehatan yang sudah Anda BANGUN dan janjikan itu...

Bantulah kami para dokter dan paramedis, bertugas dengan maksimal dengan sarana serta prasarana yang optimal dan jaminan hukum serta hidup yang baik, sehingga kami juga dapat bekerja tenang dan baik 
Sehingga bukan kami terus sebagai garda depan, yang selalu jadi kambing hitam bobroknya sistem ini

Dinyatakan kemudian dan berulang ulang di Media Massa ; Akibat aksi Solidaritas Dokter Indonesia, pasien terlantar. 
Berita ini bahkan terus menerus muncul, bahkan ketika demo dokter sudah tidak ada. 
Sebagai dokter jaga Anak emergency di RS Swasta tempat saya bekerja, saya nyatakan itu tidak benar. Saya minta teman teman lain juga bisa membantu melaporkan kondisi masing2 RS setempat mengenai hal ini. 
Di masing2 Subbagian spesialis ditempat saya bekerja tetap bertugas seorang dokter spesialis jaga utk kondisi emergency atau menerima pasien rawat inap, SC cito dan Visite juga tetap berjalan seperti biasa. Pembagian kerja hari Rabu 27 November kemaren, tak ubahnya seperti hari libur biasa. Dan bahkan, pasien2 saya saja sempat tidak sadar kalau dokter sedang mogok.
Jadi saya harap, sudah saatnya dokter dan RS proaktif menggunakan HAK JAWAB terhadap berbagai pemberitaan Media MAssa saat ini

Dan kalau Dokter tidak turun ke jalan, Apa Menkes akhirnya bisa lebih serius berjanji menjamin adanya proses PK??
Bukankah PK sudah diajukan kemaren kemaren dan tetap berlarut larut prosesnya?? Bukankah kemaren kemaren jawaban MENKES bukan kepastian tapi justru bunuh pelan pelan??
Jadi jujur saja, saya anggap memang perlu turun ke jalan. Karena ternyata itulah cara yang lebih "efektif" di Indonesia daripada katanya "musyawarah dan mufakat"

Sesungguhnya bila ada seorang Super Doctor pun, Percayalah...dia juga tidak akan mampu maksimal bekerja bila tidak dibantu oleh masyarakat, pemerintah dan Media MAssa...

Apa iya dokter dokter dokter "hebat" di luar negeri sana itu bisa "hebat" sendiri?? 
APa iya mereka itu "hebat" sendiri tanpa adanya dukungan sistem pelayanan dan pendanaan kesehatan,
Apa iya mereka itu "hebat" sendiri tanpa dukungan pemerintah mereka, 
Apa iya mereka tidak mendapat perlindungan hukum yang baik, 
Apa iya mereka bekerja "hebat" tanpa adanya jaminan hidup yang layak, 
Apa iya mereka bisa nyaman bila selalu ada justifikasi dari Media MAssa yang sumir?? 
Apa supaya "hebat" kita putuskan saja menggunakan DEFENSIVE MEDICINE??

Hmmm....Dokter juga bagian dari rakyat kan...