"Rusaknya sebuah negara karena rusaknya penguasa. Rusaknya penguasa karena rusaknya Ulama. Dan rusaknya ulama karena rusaknya Hakim" (Imam AL Ghazali)


Buramnya potret penegakan hukum di Indonesia yang seringkali tajam ke bawah namun tumpul ke atas, tampaknya tak kunjung membaik. Dimasa depan, bukan hanya nenek nenek saja yang bisa dipenjara gara gara satu dua ranting kayu namun dokter pun bisa dipenjara atau minimal "dihabiskan" tabungannya tanpa dasar kuat. 

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengkerdilkan peran Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) sebagai lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi serta menetapkan sanksi,  Bukanlah hal sepele dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Dan pastinya juga BUKAN solusi perlindungan yang lebih baik kepada pasien atau konsumen kesehatan di Indonesia

Apa itu MKDKI
Diakui oleh ketua MKDKI Prof. dr. Med. Ali Baziad, Sp.OG(K) peran lembaga yang langsung bertanggung jawab kepada PRESIDEN itu, tak banyak diketahui masyarakat. "Jangankan masyarakat, dokter juga banyak yang belum mengerti, wartawan juga ada yang salah, fatal" 

Dalam wawancaranya dengan Majalah Tempo, Prof Ali membenarkan bahwa hakim dan polisi banyak yang tidak mengetahui wewenang MKDKI. MKDKI adalah lembaga yang paling tepat menilai salah atau tidaknya dokter dan bukan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). MKEK adalah (mengurus) masalah etik bukan disiplin. 

Sehingga tak heran bila banyak yang masih salah paham dan meragukan netralitas lembaga ini. Meskipun faktanya ada ahli hukum sebagai anggota MKDKI seperti yang telah diatur dalam Permenkes NOMOR 150/2011

Putusan Mahkamah Konstitusi TIDAK melindungi Masyarakat (Pasien)
Mengapa? 
1. Dokter yang bersalah, mudah lolos dari jerat hukum 
Prof Ali menjelaskan, bisa saja seorang praktisi dinyatakan bersalah oleh MKDKI namun di jalur hukum justru tidak. Hal ini terjadi karena Hukum pidana memakai kacamata KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), dimana Menurut KUHP bila ada manusia yang meninggal, maka yang dipakai adalah pasal pembunuhan. Apakah terdapat faktor kesengajaan membunuh atau tidak. Tentunya dalam hal ini tidak pernah ada Dokter yang sengaja dan berencana untuk membunuh pasiennya bukan? :) 

Sedangkan MKDKI memakai aturan perkonsilan kedokteran Indonesia yang menilai apakah disiplin ilmu sudah dilaksanakan dengan baik atau tidak oleh seorang dokter. Sehingga, meskipun tidak ada niatan atau rencana membunuh namun bila seorang dokter tidak memenuhi disiplin keilmuannya dan kemudian mengakibatkan kematian pasien, tentu ia masih dapat dijerat oleh hukum. 

2. Carut marut sistem kesehatan, tak kunjung usai 
Menentukan penyebab utama terjadinya malpraktek bukanlah hal yang mudah. Dokter yang langsung berhadapan dengan pasien dan berada tepat di depan hidung keluarga saat terjadi hal yang tidak diinginkan, tentu merupakan sasaran empuk kambing hitam buah kekesalan dan kekecewaan keluarga. 

Meskipun bisa saja, semua hal yang tidak diinginkan tersebut terjadi bukan karena kesalahan Dokter. Seperti minimnya fasilitas kesehatan, beban kerja terlalu banyak(satu dokter menangani lebih dari 20 pasien), hingga sistem kesehatan yang SELALU MANIS dibibir para Politisi namun faktanya jarang berpihak kepada rakyat. Dapat menjadi salah banyak faktor yang menyebabkan terjadinya MALPRAKTEK. 

Tanpa peranan MKDKI, faktor diluar "dokter" tersebut tentu tidak dapat ditelaah dengan baik sehingga carut marut sistem kesehatan nasionalpun dijamin tak kunjung menemukan solusi 

3. Lahirnya Defensive Medicine 
"Defensive medicine” atau “pengobatan bersifat bela diri” artinya adalah dokter melakukan tindakan semimimal mungkin dan bahkan menolak melakukan tindakan berisiko karena terpaksa  untuk “bela diri dari "tuntutan” 

Hal ini harap dipahami, sebab apapun yg dilakukan oleh dokter Faktanya MATI HIDUP bukanlah wewenang dokter. Bahkan kesembuhanpun ada di tangan Tuhan. Manusia hanya bisa berusaha, dokter hanya dapat menjanjikan UPAYA dan bukan HASIL. Sehingga apapun yang dilakukan oleh seorang dokter super, pasien tetap saja bisa mati bukan?

Kemudian, dokter tanpa "proteksi hukum" ini tentu berhak untuk TIDAK melakukan tindakan apapun yang berisiko dalam usahanya menyelamatkan pasien. Sebab, bila terjadi tuntutan, yang bakal untung pastinya juga bukan pasien atau dokter. Dokter dan pasien pada akhirnya hanya akan sama sama habis waktu dan uang saja. Jadi, apa gunanya bersikap "sok pahlawan"? 

Inti dari tulisan ini, hukum yang berkeadilan adalah panglima sebuah negara. Sebagaimana digambarkan oleh Imam Alghazali. Hukum yang adil menjadi tumpuan  harapan dan perlindungan semua masyarakat (Baca : pasien dan dokter). Sehingga, tidak sembarangan orang yang bisa dan layak duduk sebagai eksekutor hukum. Karena bila suatu urusan diberikan kepada yang BUKAN AHLINYA, maka tunggulah kehancurannya. 

Wasaalam, dr Vicka Farah Diba