TATALAKSANA KEKERASAN PADA ANAK
DETEKSI DINI & TATALAKSANA KEKERASAN PADA ANAK (CHILD ABUSE and NEGLECT)
Istilah Child Abuse and Neglect telah dicari padanannya dalam bahasa Indonesia, seperti kekerasan dan penelantaran terhadap anak, penderaan dan penelantaran terhadap anak, atau penganiayaan dan penelantaran terhadap anak, namun masing-masing istilah tersebut memiliki kelemahan pengertian, sehingga diputuskan oleh kelompok kerja untuk tetap menggunakan istilah aslinya dan disingkat menjadi CAN.
Mengacu definisi WHO: Child Abuse and Neglect (CAN) adalah semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik ataupun emosional, penyalahgunaan seksual, penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain, yang mengakibatkan cedera/kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh-kembang anak, atau martabat anak, yang dilakukan dalam konteks hubungan tanggung-jawab, kepercayaan atau kekuasaan.
Aspek Hukum Child Abuse and Neglect (CAN) : Sesuai yang telah diatur pada UU Perlindungan Anak (UUPA) No 23/2002. Hal yang sama juga disebutkan dalam pasal 1 Konvensi Hak Anak (KHA) yang diratifikasi Indonesia pada dekade 90-an. Selanjutnya, dalam pasal 19 KHA menyebutkan definisi mengenai apa yang disebut sebagai kekerasan terhadap anak. Ditegaskan, segala bentuk kekerasan mental dan fisik, cedera atau penggunaan, penelantaran atau perlakuan yang menjadikan anak terlantar, perlakuan salah atau eksploitasi serta penyalahgunaan seksual, adalah kekerasan terjadap anak. Berdasarkan definisi tersebut, UNICEF telah melaporkan adanya 40 juta anak korban kekerasan di dunia saat ini, mulai dari dicubit, dijewer, dipukuli dengan kayu hingga dilacurkan untuk alasan ekonomi
DETEKSI DINI KEKERASAN PADA ANAK
Indikator terjadinya kekerasan seksual pada anak :
- Adanya penyakit hubungan seksual, paling sering infeksi gonokokus.
- Infeksi vaginal yang rekuren/berulang pada anak di bawah 12 tahun.
- Rasa nyeri, perdarahan dan atau keluarnya sekret dari vagina.
- Gangguan dalam mengendalikan buang air besar dan atau buang air kecil.
- Kehamilan pada usia remaja.
- Cedera pada buah dada, bokong, perut bagian bawah, paha, sekitar alat kelamin atau dubur.
- Pakaian dalam robek dan atau adanya bercak darah pada pakaian dalam.
- Ditemukannya cairan manin/semen di sekitar mulut, genitali, anus atau pakaian.
- Rasa nyeri bila buang air besar atau buang air kecil.
Indikator terjadinya kekerasan fisik pada anak
- Memar dan bilur
- Luka lecet dan luka robek
- Patah tulang
- Luka bakar
- Cedera pada kepala
- Lain-lain : a. Dislokasi/lepas sendi pada sendi bahu atau pinggul (kemungkinan akibat tarikan). b. Tanda-tanda luka yang berulang
Indikator terjadinya emotional abuse pada anak :
- Gejala-gejala fisik dari emotional abuse seringkali tidak sejelas gejala-gejala kekerasan lainnya.
- Penampilan anak seringkali tidak memperlihatkan derajat penderitaan yang dialaminya. Cara berpakaian, keadaan gizi dan kondisi fisik pada umumnya cukup memadai
- Namun ekspresi wajah, gerak gerik bahasa tubuhnya seringkali dapat mengungkapkan adanya kesedihan, keraguan diri, kebingungan, kecemasan, ketakutan atau amarah yang terpendam.
Indikator terjadinya neglect pada anak :
- Gagal tumbuh fisik maupun mental
- Malnutrisi tanpa dasar organik yang sesuai
- Dehidrasi
- Luka atau penyakit yang dibiarkan tidak diobati
- Kulit kotor tidak terawat
- Rambut penuh kutu-kutu
- Pakaian lusuh dan kotor
- Keterlambatan perkembangan
- Keadaan umum yang lemah
- Letargik, lelah berkepanjangan
Beberapa problem perilaku dan emosi yang terjadi sebagai dampak kekerasan pada anak :
1. Reaksi pada anak yang sangat kecil (2-5 tahun)
- Ketakutan dan kecemasan yang berlebihan. Setelah mengalami suatu kejadian yang menimbulkan stress, anak balita dapat menjadi sangat takut dan memberi reaksi yang berlebihan terhadap semua hal yang secara langsung atau tidak langsung mengingatkan mereka pada pengalaman tersebut.
- Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual dapat menunjukkan ketakutan yang berlebihan terhadap orang yang berjenis kelamin sama dengan orang yang melakukan kegiatan seksual tersebut.
- Anak balita dapat pula menjadi takut terhadap hal-hal yang tidak nyata, seperti nenek sihir yang mendatangi mereka di malam hari atau orang jahat yang akan mencelakakan mereka.
- Cemas perpisahan, Bila pelaku kekerasan bukan orangtua anak akan menempel terus pada orang tuanya dan sangat takut serta mengamuk bila ditinggalkan
- Perilaku regresif, anak mundur kembali ke tahap perkembangan yang lebih dini, seperti kemunduran dalam kemampuan berbicara atau kembali mengompol lagi. Anak menjadi tergantung kembali pada suatu benda pengganti ibu (transactional object), misalnya mengisap jempol, bantal atau boneka kesayangan, kondisi ini merupakan tanda adanya penderitaan anak-anak seumur ini.
- Mimpi buruk dan mengigau. Kelompok anak balita biasanya sering mengalami mimpi buruk dan mengigau karena mereka tidak mampu memahami peristiwa yang sangat menekan mereka
2. Reaksi pada anak usia 6-12 tahun
- Kesulitan belajar, sulit konsentrasi dan gelisah. Turunnya kemampuan konsentrasi ini seringkali disebabkan oleh ingatan mereka terhadap kejadian yang menyebabkan stress dan kesedihan. Mereka menjadi mudah terpecah perhatiannya, gelisah, tidak mampu memusatkan perhatian dan tidak mampu menyelesaikan tugas-tugasnya.
- Cemas pasca trauma. Kecemasan pada kelompok ini dapat dilihat melalui tingkah laku yang gugup, seperti menggoyang-goyangkan badan, gagap, atau menggigit kuku.
- Pada usia ini anak juga sudah bisa menunjukkan keluhan-keluhan fisik yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, seperti pusing, sakit perut, atau masalah makan.
- Agresif, anak usia ini juga dapat menampakkan perubahan tingkah laku yang berbeda dari biasanya. Mereka bisa berubah menjadi agresif dan rewel (banyak maunya), menjadi sangat kasar dan nakal, berteriak dan menjerit-jerit.
- Depresif, anak tampak menarik diri, iritabel dan pasif, mereka menjadi sangat pendiam dan penurut, tidak pernah mengungkapkan perasaan, tidak mau bermain dengan teman-temannya serta mudah menjadi marah. Pergaulan anak dengan teman sebayanya menjadi terganggu dan menyebabkan anak terasing dari lingkungannya.
- Sulit tidur.
- Perlaku regresif, misalnya sering mengompol di malam hari atau lengket dengan orang tuanya.
3. Reaksi pada anak usia 13-18 tahun
- Merusak diri sendiri, remaja dapat melakukan tindakan yang merusak diri sendiri sebagai cara mengatasi rasa marah dan depresi.
- Melakukan perbuatan berisiko tinggi seperti berontak terhadap orang-orang yang mempunyai wibawa, terlibat dalam penyalahgunakan NAPZA, bergabung dengan para pencuri dan menjarah.
- Depresif, Sebaliknya dapat juga terjadi sikap menutup atau menarik diri, curiga terhadap orang lain dan berpikir bahwa hal buruk akan menimpa mereka lagi.
- Keluhan fisik yang tidak jelas penyebabnya, kecemasan yang terus menerus serta kegugupan dan keluhan fisik yang tidak jelas penyebabnya juga cukup umum terjadi pada kelompok usia ini.
Wawancara pada anak yang diduga mengalami kekerasan ;
- Tanyakan pertanyaan terbuka dan konkrit yang saling berkaitan, misalnya Apa yang kamu rasakan? Apa yang kamu lihat? Apa yang kamu cium?
- Dalam melakukan wawancara usahakan untuk membantu pasien agar ia mampu mengingat suatu kejadian tertentu, misalnya Ketika kamu ada di dalam rumah Bapak A, apa yang pertama kali terjadi?
- Gunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak, jangan gunakan bahasa yang jarang digunakan atau tidak populer
- Gunakan nama panggilan dari pada nama resminya
- Usahakan menggunakan kata-kata konkrit dalam mengajukan pertanyaan, misalnya hari sabtu yang lalu, apa yang terjadi di dalam kamar Andi? Daripada, kemarin apa yang terjadi di dalam kamar kamu?
- Jika perlu dapat digunakan pertanyaan tertutup, misalnya Apakah kamu merasa lelah? Apakah kamu memerlukan istirahat? Apakah kamu merasa telah dipukul oleh pak A? Apakah kamu merasa telah di peluk oleh pak A? dll
Penatalaksanaan Anak Korban Kekerasan
1. Kekerasan Fisik
Aspek Klinis :
Emergensi medik (syok, perdarahan masif, kejang)
1. Cedera kompleks non emergensi (luka bakar luas, fraktur multipel)
2. Cedera sederhana (luka bakar ringan, laserasi superfisial)
Penatalaksanaan Medik :
Life saving (A,B,C), pemeriksaan penunjang, observasi ketat –> rujuk
Pertolongan awal (perawatan luka, fiksasi) –> pemeriksaan penunjang –> rujuk sesuai indikasi
Perawatan paripurna sesuai fasilitas public health centre
Psikososial
Aspek Problem perilaku & emosi pada anak (cemas, ketakutan, depresi, iritabilitas
Problem keluarga (family disfunction, abusive parent)
Problem sosial (anak jalanan, kriminalitas)
Penatalaksanaan :
Pendampingan psikologis sesuai usia anak –> rujuk psikolog atau psikiater
Intervensi keluarga, anak di amankan, rujuk ke lembaga perlindungan anak
Anak diamankan, rujuk ke LPA –> proses perlindungan hukum
2. Kekerasan Seksual
Aspek Klinis :
Emergensi medik (perdarahan masif area anogenital, emboli, sepsis)
Cedera / infeksi ano-uro-genital kompleks non emergensi (termasuk kehamilan)
Cedera / infeksi sederhana (laserasi ringan, penyakit menular seksual)
Penatalaksanaan :
Life saving –> stabilisasi KU –> rujukan darurat
Pertolongan awal –> pemeriksaan penunjang –> rujukan elektif
Pengobatan paripurna –> pemeriksaan penunjang ( evaluasi kehamilan
Aspek Psikososial :
Problem perilaku & emosi pd anak (ketakutan, agresif, depresi)
Problem keluarga (abusive parent, family disfunction)
Problem sosial (child trafficing, perkosaan kriminal)
Penatalaksanaan :
Pendampingan psikologis sesuai usia anak( rujukan ke Psikolog /Psikiater
Intervensi keluarga,
Amankan anak( rujuk ke LPA, proses hukum)
3. Kekerasan Emosional & Penelantaran
Aspek Klinis :
Pada kasus penelantaran sering tampil sebagai malnutrisi, defisiensi gizi, failure to trive.
Keluhan keluhan psikosomatis kronis
Penatalaksanaan :
Perawatan kondisi medik umum, perbaiki asupan gizi
Pemeriksaan penunjang untuk menyingkirkan penyakit organik ( penelusuran aspek psikososial)
Aspek Psikososial :
Problem perilaku dan emosi (gangguan belajar, hiperaktif, cemas menghindar, psikosomatis )
Problem keluarga (family disfunction, persepsi pola asuh yg salah )
Problem sosial ( anak jalanan )
Penatalaksanaan :
Dalam kasus kekerasan emosional seringkali anak belum perlu dipisahkan dari keluarga, umumnya pendampingan psikologis terhadap anak dan keluarga dilakukan simultan.
Pada kasus penelantaran anak dan anak terlantar diupayakan orang tua pengganti.
ALUR TATALAKSANA KASUS CHILD ABUSE & NEGLECT (CAN) DI RUMAH SAKIT
Sumber :
- Buku Pedoman Pelatihan DETEKSI DINI & PENATALAKSANAAN KORBAN CHILD ABUSE and NEGLECT, Bagi Tenaga Profesional Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia – Departemen Kesehatan – UNICEF 2003
- Undang Undang Perlindungan Anak no 23/2002
0 Komentar