Child-abuse-stop

Turut prihatin dengan berbagai berita mengenai maraknya kejadian kekerasan pada anak akhir akhir ini. Oleh karena itu Dokter Anakku mencoba menyajikan beberapa rangkaian artikel bertema Child Abuse and Neglect meliputi ; Deteksi dini, Pencegahan, Tatalaksana, Aspek Hukum serta Peran Tenaga Kesehatan terhadap kasus Kekerasan pada Anak yang diharapkan dapat membantu menambah informasi untuk orangtua, masyarakat dan tenaga kesehatan. 

Mengacu definisi WHO : Child Abuse and Neglect (CAN) adalah semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik ataupun emosional, penyalahgunaan seksual, penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain, yang mengakibatkan cedera/ kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh-kembang anak, atau martabat anak, yang dilakukan dalam konteks hubungan tanggung-jawab, kepercayaan atau kekuasaan.

Berdasarkan definisi tersebut, UNICEF telah melaporkan adanya 40 juta anak korban kekerasan di dunia saat ini, mulai dari dicubit, dijewer, dipukuli dengan kayu hingga dilacurkan untuk alasan ekonomi. 

Aspek Hukum Child Abuse and Neglect (CAN) : Sesuai UU Perlindungan Anak (UUPA) No 23/2002 Anak adalah setiap orang yang berusia 18 tahun ke bawah dimana pelaku tindakan CAN dapat diancam dengan tuntutan Pidana sebagai berikut ; 

Undang Undang Perlindungan Anak no 23 Tahun 2002.
BAB XII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 80

  1. Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
  2. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 81

  1. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
  2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 82

  • Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa,melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)

Deteksi Dini Kekerasan pada Anak

Indikator terjadinya kekerasan seksual pada anak :

  • Adanya penyakit hubungan seksual, paling sering infeksi gonokokus.
  • Infeksi vaginal yang rekuren/berulang pada anak di bawah 12 tahun.
  • Rasa nyeri, perdarahan dan atau keluarnya sekret dari vagina.
  • Gangguan dalam mengendalikan buang air besar dan atau buang air kecil.
  • Kehamilan pada usia remaja.
  • Cedera pada buah dada, bokong, perut bagian bawah, paha, sekitar alat kelamin atau dubur.
  • Pakaian dalam robek dan atau adanya bercak darah pada pakaian dalam.
  • Ditemukannya cairan manin/semen di sekitar mulut, genitali, anus atau pakaian.
  • Rasa nyeri bila buang air besar atau buang air kecil.

Indikator terjadinya kekerasan fisik pada anak

  • Memar dan bilur
  • Luka lecet dan luka robek
  • Patah tulang
  • Luka bakar
  • Cedera pada kepala
  • Lain-lain : a. Dislokasi/lepas sendi pada sendi bahu atau pinggul (kemungkinan akibat tarikan). b. Tanda-tanda luka yang berulang

Indikator terjadinya emotional abuse pada anak

  • Gejala-gejala fisik dari emotional abuse seringkali tidak sejelas gejala-gejala kekerasan lainnya.
  • Penampilan anak seringkali tidak memperlihatkan derajat penderitaan yang dialaminya. Cara berpakaian, keadaan gizi dan kondisi fisik pada umumnya cukup memadai
  • Namun ekspresi wajah, gerak gerik bahasa tubuhnya seringkali dapat mengungkapkan adanya kesedihan, keraguan diri, kebingungan, kecemasan, ketakutan atau amarah yang terpendam.

Indikator terjadinya neglect pada anak

  • Gagal tumbuh fisik maupun mental
  • Malnutrisi tanpa dasar organik yang sesuai
  • Dehidrasi
  • Luka atau penyakit yang dibiarkan tidak diobati
  • Kulit kotor tidak terawat
  • Rambut penuh kutu-kutu
  • Pakaian lusuh dan kotor
  • Keterlambatan perkembangan
  • Keadaan umum yang lemah
  • Letargik, lelah berkepanjangan

Beberapa problem perilaku dan emosi yang dapat sebagai dampak kekerasan pada anak
1. Reaksi pada anak yang sangat kecil (2-5 tahun)

  • Ketakutan dan kecemasan yang berlebihan. Setelah mengalami suatu kejadian yang menimbulkan stress, balita dapat menjadi sangat takut dan memberi reaksi yang berlebihan terhadap semua hal yang secara langsung atau tidak mengingatkan mereka pada pengalaman tersebut. 
  • Anak-anak yang mengalami kekerasan dapat menunjukkan ketakutan yang berlebihan terhadap orang berjenis kelamin sama dengan pelaku kekerasan tersebut. 
  • Balita dapat pula menjadi takut terhadap hal-hal yang tidak nyata, seperti nenek sihir yang mendatangi mereka di malam hari. 
  • Cemas perpisahan, Bila pelaku kekerasan bukan orangtua anak akan menempel terus pada orang tuanya dan sangat takut serta mengamuk bila ditinggalkan
  • Perilaku regresif, anak mundur kembali ke tahap perkembangan yang lebih dini, seperti kemunduran dalam kemampuan berbicara atau kembali mengompol lagi.
  • Anak menjadi tergantung kembali pada suatu benda pengganti ibu (transactional object), misalnya mengisap jempol, bantal atau boneka kesayangan, kondisi ini merupakan tanda adanya penderitaan anak-anak seumur ini.
  • Sering mengalami mimpi buruk dan mengigau, karena balita tidak mampu memahami peristiwa yang sangat menekan mereka

2. Reaksi pada anak usia 6-12 tahun

  • Kesulitan belajar, sulit konsentrasi dan gelisah. Turunnya kemampuan konsentrasi ini seringkali disebabkan oleh ingatan mereka terhadap kejadian yang menyebabkan stress dan kesedihan. Mereka menjadi mudah terpecah perhatiannya, gelisah, tidak mampu memusatkan perhatian dan tidak mampu menyelesaikan tugas-tugasnya.
  • Cemas pasca trauma. Kecemasan pada kelompok ini dapat dilihat melalui tingkah laku yang gugup, seperti menggoyang-goyangkan badan, gagap, atau menggigit kuku.
  • Pada usia ini anak juga sudah bisa menunjukkan keluhan-keluhan fisik yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, seperti pusing, sakit perut, atau masalah makan.
  • Agresif, anak usia ini juga dapat menampakkan perubahan tingkah laku yang berbeda dari biasanya. Mereka bisa berubah menjadi agresif dan rewel (banyak maunya), menjadi sangat kasar dan nakal, berteriak dan menjerit-jerit.
  • Depresif, anak tampak menarik diri, iritabel dan pasif, mereka menjadi sangat pendiam dan penurut, tidak pernah mengungkapkan perasaan, tidak mau bermain dengan teman-temannya serta mudah menjadi marah. Pergaulan anak dengan teman sebayanya menjadi terganggu dan menyebabkan anak terasing dari lingkungannya.
  • Sulit tidur.
  • Perlaku regresif, misalnya sering mengompol di malam hari atau lengket dengan orang tuanya.

3. Reaksi pada anak usia 13-18 tahun

  • Merusak diri sendiri, remaja dapat melakukan tindakan yang merusak diri sendiri sebagai cara mengatasi rasa marah dan depresi.
  • Melakukan perbuatan berisiko tinggi seperti berontak terhadap orang-orang yang mempunyai wibawa, terlibat dalam penyalahgunakan NAPZA, bergabung dengan para pencuri dan menjarah.
  • Depresif, Sebaliknya dapat juga terjadi sikap menutup atau menarik diri, curiga terhadap orang lain dan berpikir bahwa hal buruk akan menimpa mereka lagi.
  • Keluhan fisik yang tidak jelas penyebabnya, kecemasan yang terus menerus serta kegugupan dan keluhan fisik yang tidak jelas penyebabnya juga cukup umum terjadi pada kelompok usia ini.

Di Amerika Serikat sendiri sejak tahun 1983, Bulan April telah ditetapkan sebagai Bulan Pencegahan Tindak Kekerasan Terhadap Anak. Berikut cara Pencegahan terjadinya kekerasan pada Anak : 

  • Tanggung jawab sebagai orangtua adalah untuk melindungi anaknya dari segala macam bentuk kekerasan, pelecehan dan penelantaran oleh siapapun, termasuk oleh orangtuanya sendiri. Kebutuhan Asah, Asih dan Asuh serta pembekalan Iman yang baik haruslah dapat dipenuhi. 
  • Oleh karena itu sebelum mendidik anak, orangtua haruslah terdidik lebih dulu serta mempunyai ilmu dan bekal yang cukup untuk membesarkan anak termasuk mengenali tanda tanda adanya kekerasan pada anak secara dini baik secara fisik maupun emosional. 
  • Pastikan ANDA sebagai orangtua sudah mengenal dengan baik orang orang yang berada disekitar anak sehari hari, Baik itu guru, pengasuh ataupun tetangga di lingkungan sekolah maupun masyarakat. Karena pelaku berbagai bentuk kekerasan pada anak tak jarang adalah orang yang sudah dikenal anak.  
  • Jangan biarkan anak sendirian tanpa pengawasan dari orang yang sudah Anda percayai 
  • Anak harus dibiasakan untuk tidak berbicara atau menerima pemberian dari orang asing
  • Anak harus selalu meminta izin pada orang tua jika akan bepergian
  • Jelaskan mengenai area pribadi anak dan tegaskan pada anak agar segera melaporkan kepada orangtua bila ada orang yang menyentuh alat kelamin atau tubuh mereka dengan cara yang tidak mereka sukai (meskipun pelakunya adalah orang yang sudah mereka kenal)
  • Katakan juga agar anak berteriak atau kabur jika sudah merasa terancam oleh siapapun
  • Puskesmas dan RS berperan sebagai basis data kekerasan terhadap anak. Sehingga tenaga kesehatan dapat langsung melaporkan pada pihak berwajib apabila menerima pasien yang dicurigai merupakan anak korban kekerasan meskipun itu oleh orang tuanya sendiri. 
  • Jika merasa anak Anda telah mengalami kekerasan, laporkanlah kepada polisi atau bisa juga menghubungi hotline service KPAI (021-31901556) atau Komnas PA (021-87791818).

Sumber :

  • Depkes RI, Wajib Lapor bagi Tenaga Kesehatan pada Kasus Kererasan Anak
  • Buku Pedoman Pelatihan DETEKSI DINI & PENATALAKSANAAN KORBAN CHILD ABUSE and NEGLECT, Bagi Tenaga Profesional Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia – Departemen Kesehatan – UNICEF 2003
  • Undang Undang Perlindungan Anak no 23/2002