Oleh dr Vicka Farah Diba

Meluruskan kaki dan tertidur di kursi adalah hal yang biasa terjadi saat saya sedang menunggu datangnya pesawat di Blue Sky Lounge Bandara Adisucipto Yogyakarta. Namun nampaknya kedatangan seorang Ibu paruh baya akan merubah kebiasaan saya pagi itu. 

Diawali dengan jilbab, percakapan kemudian berlanjut dengan berbagai topik lain. Rupanya Ibu tersebut adalah seorang Dosen di Universitas Swasta Yogyakarta yang juga memiliki saudara berprofesi sebagai dokter dan dokter spesialis. 
Ceritanya pun mengalir mengenai pengalaman beliau berobat saat sedang melanjutkan sekolah S3 di negeri jiran Malaysia. 

Kisah mengenai dokter dan berbagai fasilitas kesehatan di negara tersebut yang nampaknya juga sangat memukau beliau, sebagaimana kebanyakan testimoni pasien pasien dari Indonesia yang pernah berobat ke negeri Upin Ipin tersebut. 

Until finally she said something that makes me realize, that we're still live in the same planet. 

"Memang dokter di Luar negeri BEDA dengan dokter di Indonesia Mbak" 

"Dokter di Indonesia itu ndak diopeni (tidak diperhatikan) pemerintahnya" 

"Semua disuruh usaha sendiri. Mlaku dewe dewe (jalan sendiri sendiri). Sekolah dokter bayar sendiri, sudah jadi Dokter, mau jadi Spesialis bayar sendiri lagi. Mau update ilmu, seminar mahal mahal suruh bayar lagi" 

"Apalagi mau ngomong fasilitas kesehatan. Dana Alkes saja bisa masuk kantong pejabat, sampe di RS alatnya sudah ndak berwujud lagi. Apa Dokternya suruh danain Alkes sendiri lagi?"

Paparan singkat namun padat beliau itu membuat saya tertawa geli, walaupun hati juga perih mengingat ironi dari fakta yang ada tersebut. 

Secercah harapan mulai terbersit karena ternyata masalah kesehatan di Indonesia itu dipahami juga dengan baik oleh seseorang yang bukan dari kalangan medis. Sebuah pemahaman menyeluruh bukan hanya dari sudut pandang pasien saja. Karena tidak pernah ada yang namanya SUPER DOCTOR.