Nakita 917

DBD masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Sampai dengan April 2016, terdapat lebih dari 80.000 kasus dengue yang tercatat.

DBD alias demam berdarah dengue, boleh dibilang menjadi momok bagi kita. Betapa tidak? Penyakit akibat infeksi virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti ini, memiliki manifestasi klinis yang sangat luas, dari infeksi tanpa gejala, gejala ringan, sampai gejala berat, bahkan kematian. Banyak faktor yang memengaruhi berat-ringannya manifestasi infeksi dengue, antara lain faktor usia, status gizi, serotipe virus (ada empat serotipe, yaitu virus DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4), serta adanya penyakit lain (“Perubahan Epidemiologi Demam Berdarah Dengue Di Indonesia”. 2009. Sari Pediatri;10[6]).

DBD—yang beberapa tahun terakhir ini sering kali muncul di musim pancaroba, utamanya di awal tahun—masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2014, DBD dapat ditemukan di seluruh provinsi di Indonesia dan hampir setiap tahun terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) di beberapa daerah yang biasanya terjadi pada musim penghujan. Beberapa faktor yang memengaruhi hal ini, antara lain, adanya semua serotipe virus dengue di Indonesia, iklim tropis yang mendukung kehidupan virus dan vektor nyamuk, masih adanya air bersih yang tertampung sebagai media pertumbuhan larva nyamuk Aedes aegypti, serta peningkatan curah hujan.

DBD lebih sering terjadi dan bisa lebih berbahaya jika dialami oleh anak. Menurut data Kemenkes RI (www.depkes.go.id, 7/3/2016), golongan terbanyak yang mengalami DBD di Indonesia pada usia 5—14 tahun mencapai 43,44% dan usia 15—44 tahun mencapai 33,25%.

Secara teoritis, seorang anak dapat mengalami infeksi dengue lebih dari satu kali, karena virus dengue mempunyai empat serotipe. Pada anak, respons imun terhadap infeksi virus dengue belum sempurna sehingga hasil akhir infeksi adalah kerusakan dinding pembuluh darah dan perembesan plasma darah. Hal yang berbahaya dari DBD adalah perdarahan berat dan renjatan (kurangnya cairan dalam pembuluh darah yang mengganggu perfusi ke jaringan tubuh). Oleh karena itu, penderita DBD memerlukan pemantauan atau observasi terus-menerus, terutama pada fase kritis yakni hari bebas demam

SAAT TEPAT MEMBAWA ANAK KE DOKTER
IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) menyarankan orangtua membawa anaknya berobat ke fasilitas kesehatan jika anak mengalami hal berikut:

  • Demam berlangsung lebih dari 3 hari, tidak turun setelah pemberian obat penurun panas.
  • Demam disertai bintik-bintik merah di kulit yang tidak hilang dengan penekanan.
  • Demam disertai perdarahan spontan dari mulut, hidung atau tempat lain yang tidak biasa.
  • Demam disertai penurunan kadar trombosit, penurunan kadar leukosit, dan peningkatan hematokrit.
  • Terdapat penderita DBD di sekitar tempat tinggal atau sekolah.
  • Anak cenderung tidur dan sulit dibangunkan, meracau, ujung-ujung jari teraba dingin saat bebas demam (kemungkinan anak mengalami renjatan).
  • Demam yang disertai dengan tanda bahaya DBD, seperti: muntah-muntah yang sering, sakit perut hebat atau buang air kecil yang berkurang atau tidak ada dalam 4—6 jam terakhir.
  • Nah, bila si kecil mengalami gejala-gejala tersebut, sebaiknya jangan tunda lagi, segera bawa ia berobat untuk mencegah anak jatuh dalam kondisi yang lebih berat. Jika anak telah mengalami renjatan, maka pasokan oksigen ke berbagai jaringan tubuh berkurang dan menyebabkan kerusakan organ. Pada kondisi ini penyakit akan lebih sulit ditangani. *

Bersambung… MAMA PAPA, YUK, CEGAH DBD!

Telah terbit di Tabloid Nakita, ed 917, 26 Oktober 2016